Terkait pelaksanaan otonomi daerah dan pengelolaan keuangan daerah terdapat persoalan yang cukup krusial dan menarik untuk didiskusikan, yakni mengenai kekurang-tegasan, kekurang-cermatan, dan ketidak- konsistenan instrumen yuridis dalam mengatur apa yang dimaksud dengan kerugian daerah, bagaimana hubungan antara keuangan negara dan keuangan daerah, bagaimana hubungan antara kerugian daerah, kerugian negara, dan frasa “merugikan keuangan negara” serta bagaimana mekanisme penyelesaian kerugian daerah.
Dalam tataran praksis, kerugian daerah yang dinilai dan/atau ditetapkan oleh BPK dipulihkan atau diselesaikan dengan cara disetor ke kas daerah. Praktik tersebut dilatarbelakangi oleh adanya beberapa sudut pandang, antara lain, kerugian daerah merupakan turunan dari keuangan daerah. Selanjutnya, sebagai turunan dari keuangan daerah, kerugian daerah bukan bagian dari keuangan negara sehingga sudah sepantasnya disetor ke kas daerah.
Jika kita membicarakan tentang Kerugian Negara dan Tindak Pidana Korupsi, maka Pembahasan mengenai keuangan negara tidak akan lepas dari pembahasan tentang kerugian negara.
Kami penulis mengulas secara rinci, bahwa Dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak dijelaskan apa itu kerugian negara. Peraturan tersebut hanya mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang penyelesaian kerugian negara dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara yang kelak terbit sebagai UU Nomor 1 Tahun 2004.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004, dijelaskan bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.
Batasan mengenai kerugian negara tersebut tampak terlalu sempit untuk definisi dan lingkup keuangan negara yang demikian luas pada UU Nomor 17 Tahun 2003. Seperti ujar bahar, Sesuai Pasal 10 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya, penilaian kerugian Negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian dituangkan dalam keputusan BPK.
Rumusan eksplisit dari Pasal
10 UU Nomor 15 Tahun 2006 tersebut menjadikan BPK sebagai lembaga satu-satunya
yang secara sah berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara
terhadap bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Sedangkan untuk pegawai negeri
bukan bendahara, berdasarkan Pasal 63 UU Nomor 1 Tahun 2004 penetapan kerugian
negara dinilai dan/atau ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota yang tata caranya diatur secara khusus melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti
Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat
Lainnya.
Penulis: Ketua DPD KGS LAI SULSEL
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami