HR.ID -
Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) mengutuk keras tindakan Polres Tanjung
Perak yang melarang wartawan meliput Hari Polwan 1 September 2020, padahal tindakan
melarang wartawan melaksanakan tugasnya sama halnya dengan melawan hukum.
Ketua KJJT Slamet Maulana,
mengatakan bahwa kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh
informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan
kualitas kehidupan manusia.
“Kemerdekaan pers itu
sudah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, kata Slamet yang biasa disapa dengan
panggilan Ade
Ditegaskan, Ade bahwa Untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Hal itu sesuai pasal 4 ayat 3 Undang - undang Republik Indonesia
No 40 tahun 1999 tentang Pokok Pers.
"Apapun kegiatan
lembaga atau masyarakat, pers tidak dapat dilarang untuk menyebarkan suatu
berita atau informasi jika memang hal tersebut berguna untuk kepentingan
publik," ujar Ade.
Di dalam bab VIII
ketentuan pidana, di pasal 18 ayat 1, menyatakan bahwa setiap orang yang secara
melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun atau
denda paling banyak 500 juta rupiah.
Ade menilai peristiwa
pelarangan wartawan meliput kegiatan di Polres Tanjung Perak Surabaya menjadi
preseden buruk terhadap kemerdekaan pers. Pelarangan bisa dilakukan jika
menyangkut kerahasiaan negara, dan ancaman terhadap keutuhan negara. Di wilayah
perang pun tidak boleh ada pelarangan peliputan.
"Jika ada pelarangan
seperti itu, merupakan tindakan melawan
hukum. Dan KJJT mengutuk keras sikap
sikap seperti itu," ujar Ade.
Untuk diketahui, hal ini
sebenarnya berawal saat Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, menyebar
undangan via WhatsApp ke sejumlah wartawan.
Dalam undanga itu disebutkan baHWA AKAN ADA Acara HUT Polwan ke
-72. Namun ketika acara dilangsungkan
pada Selasa (1/9/2020) justru belasan awak media tak diperkenankan masuk oleh
petugas jaga.
Sejumlah wartawan media
cetak, online, mainstream dilarang masuk.
Saat itu petugas jaga berdalih ada pembatasan media atas instruksi
Kapolres. Wartawan dilarang dan
diberitahu bahwa peliputan dilakukan media terbatas dan telah ditentukan.
Karena ada protokol kesehatan physical distancing.
Olehkarena kejadian
pelarangan itu, akhirnya puluhan pewarta mepertanyakan kenapa tidak ada
pemberitahuan kalau undangannya terbatas.
Kata Ade, jika ada pembatasan
hanya 10 orang media di acara itu maka telah terjadi indikasi diskriminasi.
Melalui Ade, untuk itu KJJT meminta agar Kapolres Tanjung Perak meminta maaf
kepada media, karena bertindak diskriminatif.
“Jika ada kebijakan
protokol kesehatan atau physical distancing, tentu harusnya dilakukan via
daring. Dan kenapa menghadirkan pejabat Pemkot, atau instansi lain. Padahal di
kalangan wartawan tidak ada klaster Covid,” jelas Ade
Ade menuding dengan
perlakuan itu, martabat wartawan telah direndahkan akibat adanya diskriminasi
oleh Kapolres Tanjung Perak ini. Jika hanya 10 wartawan boleh meliput,
kriterianya apa, dan standartnya apa ? , tidak jelas, protokol kesehatan Covid
jadi kambing hitam. Untuk itu KJJT akan
memberikan langkah dan sikap yang mestinya seluruh kegiatan Polres Tanjung
Perak harus dilakukan via daring jika berdalih protokol kesehatan.
Dengan adanya tindakan
yang dilakukan pihak kepolisian kata Ade,
hal itu membuktikan bahwa Kapolres Tanjung Perak kurang profesional dalam
berkomunikasi dengan pers. Ada yang diduga ditutup - tutupi dalam kegiatan itu.
"Kami sangat
menyayangkan hal tersebut apalagi undangan via WA itu telah dishare oleh pihak
Polres Tanjung Perak sendiri," pungkasnya.
Red: ( Tris )
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami