Oleh Yansi: Yansi Tenu,
Sejak corona merebak dan
menjadi wabah di Indonesia, di samping problem virus yang menyebar dengan
massif, korban berjatuhan akibat terinfeksi dan rendahnya disiplin warga,
berita-berita hoaks juga berseliweran di lini masa kita semua sehingga
munculkan konflik-konflik sebagai hasil dari edukasi dan komunikasi yang tidak
melahirkan kesadaran warga, pemerintah berupaya melakukan apa yang dapat di
lakukan namun problem-problem penanganan semakin hari semakin banyak dan
cenderung makin krusial. Bahkan warga menolak untuk di rapid tes pun terjadi
penolakan dalam bentuk spanduk yang di pasang warga di depan lorong rumah
mereka, mengapa ini mesti terjadi di tengah wabah yang membahayakan warga jika
terinfeksi ?
Rapid tes di samping PCR
adalah cara bagaimana mengendalikan penyebaran virus agar yang terinveksi dapat
di lakukan upaya untuk tidak menularkan ke orang lain, keluarga sehingga rapid
tess menjadi sangat penting bagi warga, tapi kok di tolak, mengapa ?
apakah selama ini rapid tes langsung di lakukan dengan paksaan ataukah
sebelum di rapid tes mereka di sampaikan maksud dan tujuan di adakan rapid
tess.
Jika rapid tes tidak di
sampaikan sebelumnya dan langsung di lakukan dengan cara memaksa, pasti
menimbulkan penolakan, karena di pikiran warga ketika di rapid tes dan positif
terinfeksi maka langsung akan di jemput dengan ambulance dengan peralatan mirip
astonot dan kita akan di masukkan dalam ruangan yang tidak terurus, terasing
sampai virus itu hilang selama dalam tubuh kita selama 14 hari, wow menakutkan.
Ataukah rapid tes ini
menjadi ajang bisnis bagi aparat tenaga kesehatan ? persepsi publik akan rapid
tess menjadi momok dan menakutkan, oleh karena informasi yang mereka terima
beragam dan tidak jelas, warga mendapatkan informasi yang sesat dan tidak dapat
di pertanggung jawabkan namun di percaya oleh karena informasi resmi tentang
rapid tes itu tidak di sampaikan secara terbuka dan ketakutan akan rapid tes
akan di isolasi menjadi pikiran tersendiri yang sulit di ubah tanpa proses yang
baik.
Rapid tes yang di lakukan di
pasar misalnya, tidak di tolak tapi pedagang dan pengunjung pasar menjauh dari
area rapid tes dan tidak mau padahal itu adalah kepentingan warga untuk menekan
penyebaran.
Konflik selanjutnya adalah
penolakan warga yang meninggal terinveksi covid 19 pemakamannya di tolak warga
yang berada di sekitar pemakaman umum, masalahnya bahwa di anggap bahwa mayat
tersebut masih membawa virus dan kampung itu mendapatkan bahaya, ini terjadi di
berbagai daerah sehingga untuk menghindari konflik dengan warga beberapa daerah
menyiapkan lahan khusus untuk pemakaman khusus covid 19 dengan protokol
kesehatan yang ketat,
pemulasaran jenasah telah di
lakukan oleh pihak rumah sakit ( RS ) dan anggota keluarga sangat tidak di
bolehkaan lagi di buka penutup jenasahnya dan di lihat sehingga konflik dan
mengarah pada tindakan fisik kepada petugas rumah sakit jika menahannya,
kejadian yang parah terjadi di kota Makassar jenasah covid 19 di ambil paksa
oleh karena kematian di anggap bukan akibat covid tapi sakit jantung, padahal
jika di informasikan lebih baik kepada keluarga korban sejak masuk rumah sakit
bahwa memang belum ada orang yang meninggal karena terinfeksi covid secara
langsung namun semua yang meninggal dengan penyakit yang telah ada dan
terserang covid 19 di masukkan dalam kategori wafat karena covid, informasi
seperti ini tidak pernah di jelaskan ketika seorang yang masuk karena penyakit
lain dan rumah sakit memasukkan protocol pemakaman dengan standar covid 19.
Standarnya adalah hasil tes
PCR ( polymerase chain reaction ) adalah pemeriksaan laboratorium untuk
mendeteksi keberadaan material genetic dan sel virus. untuk menentukan orang
yang terinfesi dan meninggal apakah di makamkan dengan standar covid 19 atau
tidak, problemnya adalah sesuai standar WHO, jenasah yang di identifikasi
virus hanya bertahan 4 jam saja dan harus di makamkan segera, dan jika hasil
lab PCR Swab nya belum ada tetap di makamkan dengan protocol covid, keluarga
korban tidak terima sehingga konflik merebak yang lebih parah lagi terkadang
mayat sudah di makamkan dengan standar covid 19, keluarga korban yang hadir
tidak boleh mendekat namun hasil PCR nya negatif muncul maka terjadi konflik
antar keluarga korban dan petugas kesehatan di rumah sakit.
Kejadian serupa terjadi
lebih parah lagi, seorang Imam mesjid datang ke rumah sakit dengan diagnose
jantung dan beberapa saat kemudian sang imam mesjid meninggal dunia, keluarga
korban di hubungi namun menolak di makamkan dengan protocol covid, konflik
terjadi, keluarga korban membawa massa yang banyak dan membawa mayat tersebut
untuk di makamkan secara umum dan semua keluarga hadir, setelah pemakaman
selesai hasil tes PCR ( polymerase chain reaction ) nya keluar kemudian korban
masuk kategori covid sehingga melahirkan kluster baru covid sampai 100 orang di
nyatakan harus di tes untuk melakukan tracing agar wabah tidak menyebar
kemana-mana, Miris.
Bagaimana mengurangi konflik
?
Menurut Wimot dan hicker (
2011 ) konflik adalah perjuangan yang di rasakan antar dua atau lebih individu
yang saling tergantung karena perbedaan-perbedaan yang tidak sesuai dengan
keyakinaa nilai dan tujuan atau perbedaan keinginan untuk menghargai,
mengendalikan dan keterhubungan. Sebagai interaksi sosial, konflik melibatkan
berbagai macam kekuatan yang berlawanan dan menarik dari berbagai arah. Oleh
karena itu, di butuhkan keterampilan yang dapat membantu masing-masing individu
mencari jalan keluar dari konlfik yang ada dengan cara yang sehat.
Pertama, Komunikasi yang
efektif, jika semua komponen dalam gugus tugas penanganan covid ini melakukan
upaya yang maksimal maka konflik dapat di hindari, kedua dalam komunikasi ada
gaya yang di dasarkan atas pengalaman komunikator dalam menyamapikan pesan
komunikasi sehingga hasil dari yang di sampikan dapat menjadi ukuran dan di
yakini bahwa informasi yang di sampikan adalah benar ketiga, perbedaan
persepsi, persepsi public selalu ingin di berikan informasi yang benar sehingga
jika informasi yang mereka terima tidak benar namun di sampaikan oleh tokoh
public atau tokoh masyarakat maka informasi itu di anggap benar. Keempat, ada
perbedaan nilai, dalam masyarakat, ada sistim nilai yang di anut, pemakaman
mayat memerlukan proses yang sakral dengan berbagai tatacaranya, sehingga jika
di lakukan dengan cara protocol covid dan mayat bukan meninggal akibat covid
maka persepsi mereka adalah mayat tersebut kami urus karena bukan meninggal
akibat covid kelima, muncukl konflik karena terjadi kesalah pahaman dalam
menerima informasi yang tidak resmi. Keenam buruknya komunikasi, sehingga melahirkan
percaya akan kabar burung, kabar yang salah dan di respon berlebihan.
Selanjutnya untuk
menghindari terjadi konflik kedepan perlu kiranya tim gugus tugas pusat
propinsi dan kota merancang satu mekanisme komunikasi dan informasi satu arah
sehingga semua informasi yang tidak di keluarkan oleh tim gugus komunikasi dan
infomasi di anggap sesat sehingga masyarakat di didik untuk menyeleksi
informasi dengan benar dalam rangka pengendalian covid ini, perana pers sebagai
agen perubahan menjadi penting, pers dan tim gugus tugas menyatukan persepsi
yang sama dan metode yang sama sehingga public yakin akan informasi yang benar.
Semua informasi dari tim
gugus adalah sah, jika misalnya menteri atau gebernur atau bupati walikota
dalam menyampaikan informasi mengenai proses penanganan covid tidak lagi
menjadikan statemen mereka adalah informasi, setiap kejadian dan masalah yang
terjadi hanya di sampikan oleh tim gugus tugas komunikasi dan jika pemimpin
daerah ingin menyampaikan maka tim guguslah yang melakukan itu. Pers menerima
informasi hanya dari tim gugus dan itu resmi.
Selain sebagai sumber
informasi resmi, tim gugus komunikasi dan informasi juga dapat di bentuk sampai
ke kabupaten kota, kecamatan dan kelurahan. Masyarakat yang ingin menerima
informasidapat mendatangi tim gugus yang terdekat jika belum dapat informasi
resmi. Sehingg fungsi tim gugus komunikasi dan informasi benar-benar melakukan
proses untuk komunikasi kesehatan kepada warga akan bahaya covid, pakai masker,
jaga jarak dan hindari keramaian, bagaimana covid menularkan, bagaiman cara
penularannya, bagaimana kalau terjadi orang terinfeksi dan meninggal keluarga
dapat menyaksikan pemakaman namun tidak mendekat karena mayat tersebut masih
punya virus. Semua informasi di buka dan di sampaikan secara transparan dan
dapat di pertanggung jawabkan.
jika warga yang punya
penyakit bawaan untuk menjaga kesehatan dengan baik, kampanye penyadaran warga
setiap saat di lalukan dengan melibatkan tokoh masyarakat di kabupaten atau
kota sampai kedesa agar tercipta mekanisme komunikasi dan informasi yang baik,
dapat di percaya dan warga dengan jujur akan melaporkan diri jika di antara mereka
terinfeksi dan pernah kontak dengan orang yang terinfeski dengan poroses ini
maka pengendalian virus dengan kesadaran yang tinggi dari warga dapat di
lakukan. ( the end )
Penulis, pemerhati masalah sosial/Alumi Unhas Makassar
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami