Tuesday, June 09, 2020

Balada Corona, Informasi dan komunikasi buruk melahirkan konlfik


Oleh Yansi: Yansi Tenu,

Sejak corona merebak dan menjadi wabah di Indonesia, di samping problem virus yang menyebar dengan massif, korban berjatuhan akibat terinfeksi dan rendahnya disiplin warga, berita-berita hoaks juga berseliweran di lini masa kita semua sehingga munculkan konflik-konflik sebagai hasil dari edukasi dan komunikasi yang tidak melahirkan kesadaran warga, pemerintah berupaya melakukan apa yang dapat di lakukan namun problem-problem penanganan semakin hari semakin banyak dan cenderung makin krusial. Bahkan warga menolak untuk di rapid tes pun terjadi penolakan dalam bentuk spanduk yang di pasang warga di depan lorong rumah mereka, mengapa ini mesti terjadi di tengah wabah yang membahayakan warga jika terinfeksi ?

Rapid tes di samping PCR adalah cara bagaimana mengendalikan penyebaran virus agar yang terinveksi dapat di lakukan upaya untuk tidak menularkan ke orang lain, keluarga sehingga rapid tess menjadi sangat penting bagi warga, tapi kok di tolak, mengapa ?  apakah selama ini rapid tes langsung di lakukan dengan paksaan ataukah sebelum di rapid tes mereka di sampaikan maksud dan tujuan di adakan rapid tess.

Jika rapid tes tidak di sampaikan sebelumnya dan langsung di lakukan dengan cara memaksa, pasti menimbulkan penolakan, karena di pikiran warga ketika di rapid tes dan positif terinfeksi maka langsung akan di jemput dengan ambulance dengan peralatan mirip astonot dan kita akan di masukkan dalam ruangan yang tidak terurus, terasing sampai virus itu hilang selama dalam tubuh kita selama 14 hari, wow menakutkan.

Ataukah rapid tes ini menjadi ajang bisnis bagi aparat tenaga kesehatan ? persepsi publik akan rapid tess menjadi momok dan menakutkan, oleh karena informasi yang mereka terima beragam dan tidak jelas, warga mendapatkan informasi yang sesat dan tidak dapat di pertanggung jawabkan namun di percaya oleh karena informasi resmi tentang rapid tes itu tidak di sampaikan secara terbuka dan ketakutan akan rapid tes akan di isolasi menjadi pikiran tersendiri yang sulit di ubah tanpa proses yang baik.

Rapid tes yang di lakukan di pasar misalnya, tidak di tolak tapi pedagang dan pengunjung pasar menjauh dari area rapid tes dan tidak mau padahal itu adalah kepentingan warga untuk menekan penyebaran.

Konflik selanjutnya adalah penolakan warga yang meninggal terinveksi covid 19 pemakamannya di tolak warga yang berada di sekitar pemakaman umum, masalahnya bahwa di anggap bahwa mayat tersebut masih membawa virus dan kampung itu mendapatkan bahaya, ini terjadi di berbagai daerah sehingga untuk menghindari konflik dengan warga beberapa daerah menyiapkan lahan khusus untuk pemakaman khusus covid 19 dengan protokol kesehatan yang ketat,

pemulasaran jenasah telah di lakukan oleh pihak rumah sakit ( RS ) dan anggota keluarga sangat tidak di bolehkaan lagi di buka penutup jenasahnya dan di lihat sehingga konflik dan mengarah pada tindakan fisik kepada petugas rumah sakit jika menahannya, kejadian yang parah terjadi di kota Makassar jenasah covid 19 di ambil paksa oleh karena kematian di anggap bukan akibat covid tapi sakit jantung, padahal jika di informasikan lebih baik kepada keluarga korban sejak masuk rumah sakit bahwa memang belum ada orang yang meninggal karena terinfeksi covid secara langsung namun semua yang meninggal dengan penyakit yang telah ada dan terserang covid 19 di masukkan dalam kategori wafat karena covid, informasi seperti ini tidak pernah di jelaskan ketika seorang yang masuk karena penyakit lain dan rumah sakit memasukkan protocol pemakaman dengan standar covid 19.

Standarnya adalah hasil tes PCR ( polymerase chain reaction ) adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetic dan sel virus. untuk menentukan orang yang terinfesi dan meninggal apakah di makamkan dengan standar covid 19 atau tidak, problemnya adalah  sesuai standar WHO, jenasah yang di identifikasi virus hanya bertahan 4 jam saja dan harus di makamkan segera, dan jika hasil lab PCR Swab nya belum ada tetap di makamkan dengan protocol covid, keluarga korban tidak terima sehingga konflik merebak yang lebih parah lagi terkadang mayat sudah di makamkan dengan standar covid 19, keluarga korban yang hadir tidak boleh mendekat namun hasil PCR nya negatif muncul maka terjadi konflik antar keluarga korban dan petugas kesehatan di rumah sakit.

Kejadian serupa terjadi lebih parah lagi, seorang Imam mesjid datang ke rumah sakit dengan diagnose jantung dan beberapa saat kemudian sang imam mesjid meninggal dunia, keluarga korban di hubungi namun menolak di makamkan dengan protocol covid, konflik terjadi, keluarga korban membawa massa yang banyak dan membawa mayat tersebut untuk di makamkan secara umum dan semua keluarga hadir, setelah pemakaman selesai hasil tes PCR ( polymerase chain reaction ) nya keluar kemudian korban masuk kategori covid sehingga melahirkan kluster baru covid sampai 100 orang di nyatakan harus di tes untuk melakukan tracing agar wabah tidak menyebar kemana-mana,  Miris.

Bagaimana mengurangi konflik ?

Menurut Wimot dan hicker ( 2011 ) konflik adalah perjuangan yang di rasakan antar dua atau lebih individu yang saling tergantung karena perbedaan-perbedaan yang tidak sesuai dengan keyakinaa nilai  dan tujuan atau perbedaan keinginan untuk menghargai, mengendalikan dan keterhubungan. Sebagai interaksi sosial, konflik melibatkan berbagai macam kekuatan yang berlawanan dan menarik dari berbagai arah. Oleh karena itu, di butuhkan keterampilan yang dapat membantu masing-masing individu mencari jalan keluar dari konlfik yang ada dengan cara yang sehat.

Pertama, Komunikasi yang efektif, jika semua komponen dalam gugus tugas penanganan covid ini melakukan upaya yang maksimal maka konflik dapat di hindari, kedua dalam komunikasi ada gaya yang di dasarkan atas pengalaman komunikator dalam menyamapikan pesan komunikasi sehingga hasil dari yang di sampikan dapat menjadi ukuran dan di yakini bahwa informasi yang di sampikan adalah benar ketiga, perbedaan persepsi, persepsi public selalu ingin di berikan informasi yang benar sehingga jika informasi yang mereka terima tidak benar namun di sampaikan oleh tokoh public atau tokoh masyarakat maka informasi itu di anggap benar. Keempat, ada perbedaan nilai, dalam masyarakat, ada sistim nilai yang di anut, pemakaman mayat memerlukan proses yang sakral dengan berbagai tatacaranya, sehingga jika di lakukan dengan cara protocol covid dan mayat bukan meninggal akibat covid maka persepsi mereka adalah mayat tersebut kami urus karena bukan meninggal akibat covid kelima, muncukl konflik karena terjadi kesalah pahaman dalam menerima informasi yang tidak resmi. Keenam buruknya komunikasi, sehingga melahirkan percaya akan kabar burung, kabar yang salah dan di respon berlebihan.    

Selanjutnya untuk menghindari terjadi konflik kedepan perlu kiranya tim gugus tugas pusat propinsi dan kota merancang satu mekanisme komunikasi dan informasi satu arah sehingga semua informasi yang tidak di keluarkan oleh tim gugus komunikasi dan infomasi di anggap sesat sehingga masyarakat di didik untuk menyeleksi informasi dengan benar dalam rangka pengendalian covid ini, perana pers sebagai agen perubahan menjadi penting, pers dan tim gugus tugas menyatukan persepsi yang sama dan metode yang sama sehingga public yakin akan informasi yang benar.

Semua informasi dari tim gugus adalah sah, jika misalnya menteri atau gebernur atau bupati walikota dalam menyampaikan informasi mengenai proses penanganan covid tidak lagi menjadikan statemen mereka adalah informasi, setiap kejadian dan masalah yang terjadi hanya di sampikan oleh tim gugus tugas komunikasi dan jika pemimpin daerah ingin menyampaikan maka tim guguslah yang melakukan itu. Pers menerima informasi hanya dari tim gugus dan itu resmi.

Selain sebagai sumber informasi resmi, tim gugus komunikasi dan informasi juga dapat di bentuk sampai ke kabupaten kota, kecamatan dan kelurahan. Masyarakat yang ingin menerima informasidapat mendatangi tim gugus yang terdekat jika belum dapat informasi resmi. Sehingg fungsi tim gugus komunikasi dan informasi benar-benar melakukan proses untuk komunikasi kesehatan kepada warga akan bahaya covid, pakai masker, jaga jarak dan hindari keramaian, bagaimana covid menularkan, bagaiman cara penularannya, bagaimana kalau terjadi orang terinfeksi dan meninggal keluarga dapat menyaksikan pemakaman namun tidak mendekat karena mayat tersebut masih punya virus. Semua informasi di buka dan di sampaikan secara transparan dan dapat di pertanggung jawabkan.

jika warga yang punya penyakit bawaan untuk menjaga kesehatan dengan baik, kampanye penyadaran warga setiap saat di lalukan dengan melibatkan tokoh masyarakat di kabupaten atau kota sampai kedesa agar tercipta mekanisme komunikasi dan informasi yang baik, dapat di percaya dan warga dengan jujur akan melaporkan diri jika di antara mereka terinfeksi dan pernah kontak dengan orang yang terinfeski dengan poroses ini maka pengendalian virus dengan kesadaran yang tinggi dari warga dapat di lakukan. ( the end )


Penulis,   pemerhati masalah sosial/Alumi Unhas Makassar

SHARE THIS

Author:

MARI MEMBANGUN KEBERSAMAAN, BERSAMA KITA BERJUANG

0 Please Share a Your Opinion.:

Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami

Hukum

Kesehatan

»

Serba Serbi