HarapanRakyat-Seorang Ibu rumah tangga bernama Dewi terlihat muram ketika menceritakan peristiwa pahit yang dialaminya saat kerusuhan melanda Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin, 23 September 2019. Sekelompok orang masuk ke permukiman tempatnya tinggal di Jalan Homhom lalu mencari warga pendatang.
Mereka menganiaya penduduk sekitar lalu membakar habis sejumlah rumah. Tempat tinggal Dewi ikut hangus. Bangunan dengan segala isinya termasuk uang dan barang berharga hasil jerih payahnya mencari rezeki selama bertahun-tahun lenyap seketika.
"Cuma baju di badan yang bisa saya selamatkan. Kalau mengingat kejadiannya, saya trauma," kata Dewi saat ditemui Okezone di posko pengungsian Kompleks Batalion Infantri Raider 751/Vira Jaya Sakti, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (1/10/2019).
"Saya tidak punya apa-apa lagi di sana (Wamena-red). Kalau disuruh memilih saya memilih pulang kampung saja, enggak berani (balik-red) lagi. Saya berharap ada yang mau bantu (memulangkan-red)."
Dewi, perempuan asal Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Aceh. Sejak 2015, ia merantau ke Papua dan tinggal di Wamena, mencari rezeki dengan berjualan kosmetik. Ia sudah menikah dengan pria Probolinggo, Jawa Timur. Sementara keluarga besarnya masih di Aceh.
Sehari-hari, ibu yang memiliki tiga anak yang masih kecil-kecil itu hidup rukun dengan warga setempat, tak pernah berselisih. Petaka datang pada 23 September. Unjuk rasa massa yang dipicu hoaks soal rasisme di Wamena mengubah wajah kota itu. Demo awalnya berjalan tertib. Namun, tiba-tiba datang massa dari berbagai penjuru bergabung dan aksi pun berubah anarkis.
Sebagian massa membakar gedung-gedung pemerintahan termasuk Kantor Bupati Jayawijaya, kendaraan, dan rumah-rumah warga. Permukiman di Jalan Homhom, tempat Dewi tinggal ikut jadi sasaran. Total ada 33 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Sedikitnya 4.656 orang mengungsi ke berbagai daerah di luar Wamena karena takut dengan keselamatannya. Di Jayapura tercatat ada 880 pengungsi, tersebar di beberapa titik.
Menurut Dewi, saat sekelompok orang mulai anarkis menyerang permukiman di Wamena, beberapa warga sempat memberi perlawanan. Celakanya, massa datang dalam jumlah lebih banyak lalu mencari warga pendatang dan membakar sejumlah rumah. Dewi yakin massa yang mengamuk itu berasal dari wilayah lain, bukan masyarakat lokal setempat. Menurutnya, warga Wamena sangat ramah dengan pendatang, bahkan banyak membantu melindungi pendatang saat kelompok perusuh itu beraksi.
"Warga di situ malah melindungi. Saya juga banyak dibantu," tutur Dewi.
Dewi mengaku selamat dari kerusuhan setelah kabur pos penjagaan lapas, kemudian diungsikan petugas ke Polres Jayawijaya lalu dipindah ke Kodim. Dia selamat setelah warga asli Wamena ikut menghalau perusuh saat menyasar pendatang di Jalan Homhom.
Dewi saat itu sendirian di rumah. Suaminya yang bekerja sebagai sopir sudah keluar menyetir truk membawa material proyek. Sementara tiga anaknya sudah duluan dititip ke saudara angkatnya di Jayapura, karena sejak tiga hari sebelum kerusuhan firasatnya sudah tak enak.
"Saya sendiri lari dari rumah lewat belakang. Kalau ingat-ingat lagi saya trauma," cerita Dewi.
Sejak empat hari lalu, Dewi sudah dipindahkan ke posko pengungsian di Batalion Yonif Raider 751. Ada sekira 300 pengungsi Wamena ditempatkan di sana.
Dewi bersama para pengungsi lain diangkut secara bertahap dengan pesawat Hercules TNI Angkatan Udara dari Bandara Wamena ke Lanud Silas Papare, Sentani, Jayapura, lalu disebar ke beberapa titik pengungsian.
Selama di pengungsian, kata Dewi, kebutuhan makanan sudah terpenuhi lewat bantuan. "Tapi, namanya pengungsian pasti enggak enak tinggal, pengennya pulang ke Aceh. Kalau ada yang bantu saya pulang ke Aceh, saya mau pulang saja," katanya.
Dewi mengaku trauma dengan kerusuhan terlebih karena dia pernah merasakan kejamnya konflik bersenjata di Aceh. Perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI-Polri selama 30 tahun—sebelum damai pada 15 Agustus 2005—menimbulkan banyak korban warga sipil.
Lhokseumawe, kampungnya Dewi, salah satu daerah paling rawan saat konflik masih mendera Aceh. Di sana ada beberapa objek vital yang dijaga ketat aparat keamanan, tapi GAM juga kerap melakukan penyerangan.
"Waktu konflik Aceh dulu saya di sana. Sekarang saya merasakan lagi konflik di sini," tutur Dewi.
Tak hanya Dewi, Ariyanto, warga Wamena lain yang mengungsi ke Kompleks Masjid Al Aqsa, Sentani, Jayapura juga masih trauma dengan kerusuhan di Wamena. Pria kelahiran Jawa Timur itu belum berani memutuskan kembali ke Wamena.
"Sekarang kayaknya belum (bersedia kembali-red), lha udah enggak ada apa-apa lagi di sana," ujar dia.
Ariyanto di Wamena bekerja sebagai buruh bangunan dan tukang ojek. Tapi, rumah dan motor yang jadi alatnya untuk mencari rezeki kini sudah habis dibakar pelaku kerusuhan.
"Kondisi Wamena sekarang lumpuh, Mas. Enggak berani juga ke sana," tuturnya
Red: AndiSbb: https://nasional.okezone.com/read/2019/10/01/337/2111627/kisah-dewi-yang-selamat-dari-konflik-aceh-dan-kerusuhan-wamena?page=4
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami