Wednesday, September 04, 2019

Gesekan Warga Papua dan Pendatang, Bisa Memicu Konflik Horisontal



Gesekan antara warga pendatang dan warga lokal di Papua muncul setelah pembakaran dan pengrusakan fasilitas umum dalam aksi massa menentang rasialisme di Jayapura, Papua, pekan lalu.
Seorang pengamat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai jika konflik yang terjadi di Papua tidak ditangani dengan benar dan diselesaikan secara tepat, dapat meluas menjadi konflik horizontal.
Cahyo Pamungkas, yang meneliti soal Papua, mengatakan bahwa kesenjangan ekonomi dan sosial yang disebutnya "cukup besar" antara orang asli Papua dan pendatang bisa "dimanfatkan untuk menciptakan konflik".
"Potensi konflik horizontal ada, tetapi potensi itu tidak akan menjadi konflik ketika tidak ada upaya yang sistematis untuk mem-framing isu dan memobilisasi massa," ujar Cahyo kepada BBC News Indonesia, Senin (02/09).
Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyatakan imbauan ke masyarakat asli Papua untuk memperlakukan masyarakat non-Papua secara terhormat dan sejajar.
Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan berkantor di Papua selama satu minggu, mulai Selasa (03/09).

Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, mengungkapkan langkah ini merupakan "salah satu wujud komitmen pemerintah untuk segera mewujudkan Papua kembali damai".

Hana, seorang warga Papua di Jayapura, mengaku kaget ketiga sedang mengendarai mobilnya tiba-tiba dirazia oleh warga pendatang pada Jumat (30/08), sehari setelah demonstrasi menentang rasialisme yang diwarnai pengrusakan dan pembakaran fasilitas umum.
Ketika mobilnya mendekati kantor wali kota, ada empat orang yang berusaha memberhentikan mobil yang dia kendarai bersama saudaranya.
"Terus dong teriak-teriak, 'turunkan kaca, nyalakan lampu mobil itu di dalam, kasih nyala!'. Terus yang hadang tuh orang-orang non-Papua, dari dialeknya tuh saudara-saudara dong dari seberang, Sulawesi sana," ujar Hana kepada wartawan Engel Wally.
Dia menambahkan, dia harus melewati empat blokade yang masing-masing dijaga oleh sekitar empat orang.
Di blokade terakhir, dia melihat warga pendatang yang membawa samurai panjang yang berbicara kasar kepadanya.
"Dong bilang kita tidak berurusan dengan kamu orang pantai, kami berurusan dengan orang gunung," kata Hana.
"Terus harus dicatat, 'orang gunung' adalah orang Papua, 'orang pantai juga orang Papua," tegas Hana.

Sementara itu, Amir, warga asli Makassar yang sudah lama tinggal di Entrop, Jayapura, menjelaskan alasan aksi razia yang dilakukan terhadap warga tuan rumah karena takut pendemo yang sebelumnya melakukan aksi, kembali melakukan pengrusakan.
"Jadi warga melakukan sweeping karena sudah terjadi seperti itu kan, bakar-bakar," kata dia.
"Semua warga Entrop takut kalau pendemo kembali serang, akhirnya langsung siaga," imbuhnya.
Kendati begitu, Amir memastikan "aksi-aksi balasan" dari warga pendatang tidak akan terjadi lagi setelah wali kota Jayapura "memberikan arahan dan menjamin tidak ada masalah".
Ribuan pengunjuk rasa menyuarakan tuntutan yang serupa dengan aksi-aksi unjuk rasa sebelumnya, meminta pengungkapan kasus dugaan rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur pada pertengahan Agustus lalu.
Sehari setelah aksi unjuk rasa anti-rasisme di Jayapura, Papua, pada Kamis (29/08) yang diwarnai aksi pembakaran dan penjarahan fasilitas umum, pertokoan, serta kendaraan pribadi, Polda Papua menangkap setidaknya 64 orang.
"Di Jayapura, dari 64 orang yang dimintai keterangan, telah ditetapkan 28 orang sebagai tersangka," ujar Menkopolhukam Wiranto dalam konferensi pers perkembangan terkini konflik Papua, Senin (02/09).
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengungkapkan benturan antara warga asli dan kelompok pendatang yang disebut kelompok Paguyuban Nusantara, merupakan lanjutan dari apa yang terjadi setelah demo yang diwarnai aksi pengrusakan beberapa hari sebelumnya.
"Memang terjadi benturan, karena pada saat demonstrasi itu banyak fasilitas, entar rumah, entah toko, entah sepeda motor, dari masyarakat pendatang ikut dirusak, sehingga terjadi emosi," ujar Wiranto.
Namun, pengamat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang meneliti soal Papua, Cahyo Pamungkas, mengungkapkan konflik antara pendatang dan orang asli Papua tidak secara otomatis tercipta "tanpa ada pihak lain yang menunggangi".
"Tapi karena ada framing isu lewat media sosial dan ada mobilisasi massa. Dua hal ini yang membuat Jayapura berpotensi terjadinya konflik horizontal," kata dia.
Keberadaan aparat diharapkan dapat mencegah konflik horizontal namun dalam beberapa kasus, kata Cahyo, aparat justru mendukung masyarakat pendatang.
"Ini yang kemudian membuat potensi konflik ketika aparat tidak netral. Aparat seharusnya netral, siapa pun yang berbuat kerusuhan harus ditangkap, apakah orang asli, atau pendatang," kata dia.
Gubernur Papua Lukas Enembe mengungkapkan bahwa Papua dikenal sebagai "miniatur Indonesia", tempat yang dihuni oleh penduduk yang multietnis, multiagama, dan multibudaya yang hidup berdampingan secara damai.


Dia mengimbau masyarakat asli Papua menyambut baik dan memperlakukan masyarakat non-Papua secara terhormat dan sejajar. Namun, dia juga menghendaki masyarakat Papua yang tinggal di seluruh Indonesia, juga mendapatkan perlakuan yang sama
"Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, kehadiran masyarakat Papua di berbagai wilayah provinsi Indonesia harus juga diperlakukan sama," ujarnya.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, mengimbau tokoh adat untuk tidak menjadi "aktor kekacauan" yang mengusik kerukunan penduduk yang tinggal di Jayapura.
"Zona integritas kerukunan dari semua suku bangsa, agama yang ada di sini harus dijaga." kata dia.
"Kita tidak boleh menjadi aktor-aktor dari kekacauan ini, tidak boleh," tegas Mathius.
Oleh karenanya, dia mengimbau tokoh adat agar tidak mudah terpengaruh dengan isu apa pun.
"Kalau ada isu-isu yang menghasut kita, kita berani menolak. Jangan ada orang dari mana datang membawa hal-hal yang negatif yang merugikan ketentraman dengan aktivitas-aktivitas itu, kita harus tolak," tegasnya kemudian
.

Larang unjuk rasa yang berpotensi anarkistis

Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan berkantor di Papua selama satu minggu, mulai Selasa (03/09).
Tito mengatakan, keduanya akan berkantor di Papua selama beberapa hari ke depan, hingga "situasi betul-betul aman".
"Saya sendiri dan bapak Panglima kemungkinan besar akan ke sana untuk mengendalikan betul-betul situasinya bisa terkendali dan melakukan langkah-langkah penegakan hukum dan kita akan berangkat ke sana untuk menjaga keamanan," ujar Tito kepada wartawan, Minggu (01/09) pagi.
Tito juga meminta Kapolda Papua dan Papua Barat untuk melarang unjuk rasa yang berpotensi anarkistis.
"Kepada Kapolda Papua dan Papua Barat untuk mengeluarkan maklumat melakukan larangan demonstrasi atau unjuk rasa yang potensial anarkis. Pengalaman kemarin di Manokwari dan di Jayapura kita niatnya baik, memberikan kesempatan sesuai Undang-Undang No. 9/1998, [hak] untuk menyampaikan pendapat, tapi kenyataannya menjadi anarkis."
"Saya sendiri dan bapak Panglima kemungkinan besar akan ke sana untuk mengendalikan betul-betul situasinya bisa terkendali dan melakukan langkah-langkah penegakkan hukum dan kita akan berangkat ke sana untuk menjaga keamanan."
Tito mengatakan, keduanya akan berkantor di Papua selama beberapa hari ke depan, hingga "situasi betul-betul aman".
"Kalau saya anggap kurang, saya akan tambahkan pasukan. Dan kalau ada yang melakukan kerusuhan, kita akan tegakkan hukum kepada mereka," tegasnya.

Red: Hr


SHARE THIS

Author:

MARI MEMBANGUN KEBERSAMAAN, BERSAMA KITA BERJUANG

0 Please Share a Your Opinion.:

Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami

Hukum

Kesehatan

»

Serba Serbi