Thursday, July 11, 2019

Penahanan Muslim Ughuar, Berawal Dari Kerusuhan di Pabrik Mainan



HarapnRakyat-Kerusuhan yang berujung pada kekerasan terhadap etnis terburuk yang pernah terjadi China, hingga adanya kamp-kamp penahanan di Xinjiang, dimulai dari tempat yang tidak diduga: sebuah pabrik mainan.
Insiden Etnis Uyghur dan Han di China

Telah terjadi selama beberapa dekade

  • Kerusuhan di Urumqi 2009 menjadi pemicu tragedi Xinjiang
  • Dilaporkan 1 juga Muslim dari etnis Uyghur masuk kamp penahanan
5 Juli 2019 menjadi peringatan 10 tahun kerusuhan Urumqi, antara etnis Muslim Uyghur dengan etnis Han di jalanan ibukota Xinjiang.

Uyghur adalah suku minoritas China dari Asia Tengah yang berbahasa Turki memiliki perbedaan dengan suku Han, dimana Urumqi berlokasi lebih dekat ke Kabul, Afghanistan daripada ke ibukota Beijing.

Dimulai dengan protes damai turun ke jalan dan kemudian menjadi liar dengan aksi penjarahan, pemukulan hingga pembunuhan warga China dan kematian yang memakan korban dari kedua suku.
Insiden satu dekade lalu telah menyebabkan konsekuensi panjang, di mana lebih dari 1 juta Muslim Uyghur dilaporkan dimasukkan ke kamp penahanan untuk "dididik ulang" dan Xinjiang menjadi provinsi yang memata-matai warganya.

Apa yang terjadi pada 5 Juli?


Akhir Juni 2009, seorang pekerja mengunggah rumor di dunia maya jika seorang perempuan dari etnis Han telah mengalami pelecehan seksual oleh pekerja migran Uighur di sebuah pabrik mainan di Shaoguan, tenggara Cina.

Sebagai tanggapan, beberapa pekerja China kemudian memukuli warga suku Uyghur di sebuah pabrik mainan yang menewaskan dua orang.
Rekaman serangan menyebar dengan cepat secara online dan bahkan memanas hingga provinsi Xinjiang.

Mahasiswa Uyghur melakukan demonstrasi di kawasan Urumqi, di mana beberapa orang mengklaim polisi menembakkan amunisi langsung kepada para demonstran, yang memicu kerusuhan.
Pihak berwenang China melaporkan 197 orang, kebanyakan dari warga suku Han, tewas dalam insiden tersebut dan 1.700 orang lainnya terluka.

Beberapa hari berikutnya, giliran warga dari suku Han turun ke jalan dengan membawa tongkat dan besi untuk melakukan balas dendam kepada warga Uyghur.

Kerusuhan tersebut menjadi yang paling mematikan dalam beberapa dasawarsa, beberapa warga Uyghur di kamp penahanan mengaku ribuan orang mungkin terbunuh, meski berapa pasti jumlahnya masih diperdebatkan

Peristiwa Itu Terus Menghantui yang diingat Sampai Kini

Penyair dan peneliti yang berbasis di London, Aziz Isa Elkun sedang memandikan dua anak yang masih saat kecil saat mendengar ada suara keras.

"Aku melihat asap membubung dari api. Suara tembakan langsung," katanya.

Hari berikutnya, ia melihat orang-orang menggunakan air untuk mencuci darah dari jalan dekat universitas Xinjiang.

Alip Erkin, yang mengelola Buletin Uyghur dari Australia, ingat keponakannya berlari pulang melewati mayat.

Seorang pencari suaka Uyghur di Australia, yang meminta agar ditulis sebagai Abu karena takut anggota keluarganya yang masih di Xinjiang terancam, teringat adegan mengerikan dari sebuah mobil yang terbalik dan melihat mayat-mayat di jalan.

Ia melihat seorang pria Uyghur meninggal karena luka tembak dan seorang perempuan tua menutupinya dengan kain putih, yang tadinya ia siapkan untuk dirinya sendiri.


"Sampai saat itu, aku tidak percaya. Tapi aku melihatnya dengan mataku sendiri," kata Abu.

Kemudian, dia melihat polisi memasuki kawasan dimana ia tinggal dan mengumpulkan lusinan pria Uyghur, menarik baju mereka hingga ke kepala dan mengikat tangan mereka di punggung dengan ikat pinggang.

Keteganag Yang Sudah Lama


Ketegangan-ketegangan etnis sebenarnya sudah terjadi selama beberapa dekade, bahkan bisa jadi berabad-abad.

Selama lebih dari 200 tahun, Uyghur dan China terkungkung dalam kekacauan politik, di mana suku Uyghur berjuang untuk mempertahankan kawasan saat kekuasaan China meluas ke sebelah barat.

Uyghur pernah mendeklarasikan sebagai Republik Turkistan Timur pada tahun 1933, dan kembali melakukannya di tahun 1944 dan sempat menikmati masa kemerdekaan yang singkat.

Tetapi wilayah itu berada di bawah kendali komunis di tahun 1949, ketika Republik Rakyat China berdiri dan kawasan Uyghur berubah nama menjadi Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang.

Meskipun memiliki nama seperti itu, mereka masih diawasi ketat oleh Beijing. Selama Revolusi Kebudayaan pimpinan Mao Zedong tahun 1960-an dan 1970-an, agama dilarang dan karenanya masjid-masjid dihancurkan dan Al-Quran dihancurkan.

'Mereka akan dikirim ke kamp-kamp'
 



Kembali ke Aziz yang kini tinggal di Inggris, ia mengatakan butuh setidaknya lebih dari setahun bagi keluarganya "untuk bisa pulih dari mimpi buruk" dari peristiwa 5 Juli.

Tak sampai di situ, beberapa tahun setelahnya ia mengaku "kehilangan hubungan dengan semua keluarga saya, semua teman saya ... kami merasa seolah-olah telah kehilangan segalanya."

Kerusuhan Urumqi juga jadi titik balik bagi kehidupan Abu, yang mengatakan diskriminasi meningkat setelah 2009.

Setelah tinggal di Australia, ia berpisah dari ayah dan dua saudara perempuannya yang masih tinggal di Xinjiang.

"Saya ingin menghubungi mereka, tetapi tidak bisa. Jika melakukannya, mereka akan dikirim ke kamp," katanya.
Pada Mei tahun lalu, ia menerima pesan dari saudara perempuannya di WeChat. Pesannya mengatakan: "Mereka membawa saya".

Hampir setahun kemudian, pada bulan April tahun ini, ia menerima video call dari saudara perempuannya, yang tadinya ia berpikir saudara perempuannya sedang berada di kantor polisi.
Ia mengatakan kepadanya bahwa mereka telah dibebaskan tetapi ini menjadi yang terakhir kalinya mereka dapat berbicara.

"Mereka tidak menyalahkan saya," katanya.
"Meskipun mereka telah ditahan hanya karena saya, selama hampir setahun."

Asimilasi Etnis Menambah Ketegangan Suasana



Masa terakhir ini ditandai dengan kekerasan separatis dan tindakan keras pemerintah, dengan populasi susunan etnis dari ketegangan Xinjiang.

Catatan kantor migrasi pemerintah setempat mencatat populasi Cina Han di sana mengalami  dari kurang dari 7 persen pada tahun 1949 menjadi 40 persen sekarang, sementara populasi Uyghur turun dari 75 persen menjadi sekitar 45 persen.
 

Kerusuhan, dan pembalasan selanjutnya, menjadikan situasi di Xinjiang ke panggung global 

Menurut James Leibold dari Universitas La Trobe.  situasi Itu telah berbeda dari masa lalu yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat peran internet dalam memicu kekerasan dengan penyebaran informasi yang cepat dan telah digunakan sebagai pembenaran untuk perubahan perlakuan Cina terhadap etnis minoritas.
"Banyak dari orang-orang yang menyerukan perubahan dalam kebijakan etnis melihat kerusuhan Urumqi sebagai semacam titik balik," katanya

"Contoh ketidakstabilan digunakan sebagai cara untuk menunjukkan apa yang saya sebut sebagai 'akomodasi' atau serangkaian kebijakan praktis telah gagal."

Sebuah faktor menyerupai Rantai membentuk sumbu kering yang memicu kekerasan mengerikan, kata Dr Leibold, termasuk marginalisasi ekonomi Uyghuar, erosi bahasa mereka dan hilangnya otonomi mereka.

Di masa lalu, Cina dengan keras menyangkal bahwa Uyghur dipinggirkan secara tidak adil, tetapi itu benar dalam pengalaman Abu.

Abu mengatakan kebijakan etnis di Xinjiang telah "gagal total", dan sementara dia tidak bisa membela tindakan orang-orang Uyghur yang memukul Cina Han, dia mengatakan kekerasan itu dipandang sebagai "tak terhindarkan".


Artikel ini telah dirangkum sebagian dari laporan aslinya dalam bahasa Inggris yang Telah di kutif pada halaman DetikNews.com. Naskah Asli bisa dibaca disini.


Red: Sakti

SHARE THIS

Author:

MARI MEMBANGUN KEBERSAMAAN, BERSAMA KITA BERJUANG

0 Please Share a Your Opinion.:

Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami

Hukum

Kesehatan

»

Serba Serbi