Oleh: Ir Andi Ms Hersandy
( Kecurangan Para Caleg )
Tulisan
ini menggambarkan betapa antusiasnya masyarakat indonesia untuk menjadi
legislator dengan mengorbankan banyak tenaga dan uang demi untuk
mendapatkan gelar Anggota DEWAN untuk meraup keuntungan dalam mengganti
dana yang telah dihabiskan. Kami berkeyakinan bahwa para pembaca ada
yang mengalami atau setidaknya mirip dengan pengalaman saya. Dengan
demikian melalui tulisan ini marlah kita sama sama berpikir bagaimana
dan apa yang mesti kita perbuat untuk mengantisipasi kecurangan para
caleg di-pemilu mendatang 2019.
Ir. Andi Ms Hersandy |
Pada
era reformasi setelah runtuhnya era orde baru kemudian dikenallah azas “
Jurdi “ yang dipersepsikan sebagai pemilihan yang Jujur dan Adil. Asas
jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai
dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki
hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih
memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan
terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu
dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap
peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya
kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Tapi
apakah dengan bahasa Luber dan Jurdil itu yang bila dilihat dari
kacamata bahasa tentu akan membuat ketenangan dan kedamain dalam
berdemokrasi bagi setiap insan sebagai pelaku pemilu ?. kedua bahasa
tersebut diatas sampai detik ini saya yakini sangatlah indah akan tetapi
keindahan bahasa ini tidak seperti apa yang terjadi dalam
pelaksanaannya.
Kita berujuk ke pemilu tahun 1999 Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini diselenggarakan secara serentak pada tanggal 7 Juni untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia, Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) periode 1999-2004.
Pemilihan Umum ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan setelah runtuhnya Orde Baru dan juga yang terakhir kalinya diikuti oleh Provinsi Timor Timur. Pemilihan Umum ini diikuti oleh 48 partai politik, yang mencakup hampir semua spektrum arah politik ( kecuali komunisme / PKI yang dilarang di Indonesia).
Hampir dipastikan dan menjadi kenyataan bahwa konon pemilu ini adalah demokratis Luber, Jurdil tidaklah sehebat dua bahasa tersebut. Dimana-mana terjadi kecurangan dan utamanya pemaksaan kehendak untuk memilih partai tertentu. Tidak hanya itu, bagi-bagi sembako sampai uang-pun terlihat, demikian juga terjadi mobilisasi pemilih, penggelembungan suara dari sesama partai sampai dilain partai. Para saksi yang ditugasi partai untuk mengontrol jalannya pemilu sampai perhitungan suara pun juga melakukan kecurangan, mereka menjadi saksi bayaran bagi siapa saja yang bayarannya lebih tinggi tentu akan mendepak bayaran yang lebih rendah.
Pada
Pemilu tahun 2004 kemudian Pemilu 2009 dimana tiga langkah kedepan dari
ranah orba ke reformasi tapi tak kunjung ada perbaikan padahal berbagai
cara telah dilakukan termasuk mengaktifkan keberadaan Panwaslu (
Panitia Pengawas Pemilu ). dimana Empat arti penting Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) dalam penegakkan hukum pemilu; - partisipatif
masyrakat, - Alat Negara dalam melakukan kajian terhadap adanya suatu
dugaan pelanggaran, - Quasi Judicial ( Peradilan Semu ) dalam penanganan
sengketa proses penyelenggaraan pemilu, - Saksi yang memberikan
keterangan pembanding dalam PHPU di Mahkamah Konstitusi. Meskipun sangat
disayangkan adalah Panwaslu
sebagai penegak hukum pemilu tidak diberika kewenangan sebagai eksekutor
atau pengambil keputusan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang ada.
Bawaslu ( Badan Pengawasan Pemilu ) sebagai induk Panwaslu masih harus
meneruskan kepada instansi yang berwenang ketika menemukan adanya dugaan
pelanggaran dalam Pemilu. “Karena yang selalu menjadi masalah besar
adalah ketika kita menganggap bahwa telah ada pelanggaran dalam pemilu,
seringkali instansi terkait yang diberikan kewenangan eksekutor
menganggap itu bukan pelanggaran Pemilu.
Jika
demikian tentu perubahan yang dinanti-nanti tidak akan pernah mendekati
kenyataan. Sekarang ini, sebagian masyarak utamanya dari kalangan
akademisi ternyata sudah semakin cerdas dan kritis. Terlebih lagi,
beberapa anggota Dewan yang dipilih langsung oleh Rakyat ternyata tidak
lagi bisa diharapkan. Ada yang korupsi sampai perbuatan tidak senonoh
lainnya yang sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang wakil Rakyat.
Sungguh ironis memang, tapi begitulah yang terjadi, dimana para caleg
seolah berlomba meraih simpati dari masyarakat dengan berbagai cara dan
upaya yang dilakukan. Semua dilakukakan agar pada pemilihan suara nanti
bisa mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.
Praduga
tak bersalah selalu dikedepankan akan tetapi jika kita lihat kenyataan
yang terjadi dan dengan bukti-bukti yang riil pastilah semua orang akan
mengaggap bahwa para Anggota Dewan cenderung seperti itu, meskipun
mungkin tidak semua melakukan kesalahan. Sudah saatnya para calon wakil
rakyat betul-betul harus memperjuangkan aspirasi dari Rakyat. Dan harus
bekerja keras menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan aspirasi
Rakyat. Bukan malah hanya mengejar kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan
demi menuruti kepentingan pribadi.
Nah, kembali lagi kepada para pemilih, apakah akan menjerumuskan anggota DPR ke dalam perbuatan kotor korupsi dengan minta imbalan untuk memberi suara pada si caleg, atau tidak meminta apa pun kepada si caleg kecuali komitmen untuk membawakan aspirasi mereka sesuai dengan tugas, tanggung jawab dan wewenang sebagai anggota DPR. Pemilih bahkan pengamat seringkali menyamakan anggota DPR dengan calon Kepala Daerah atau Presiden yang berlaku sebagai eksekutif. Padalah, tugas, tanggung jawab dan wewenang DPR sudah jelas. DPR tidak mungkin menjanjikan akan membangun jalan. Apabila tidak pernah ada pengajuan program dan anggaran untuk membangun jalan, bagaimana DPR bisa menolak/menyetujui mata anggaran tersebut? Itu hanya satu contoh saja untuk memberi gambaran betapa kadang-kadang pemilih maupun pengamat melakukan Kontroversi menyamakan legislatif dengan eksekutif. Yang pasti pengeluaran sang legislator tentu tidak akan sebanding berapa banyak gaji yang akan diperoleh dari hasil kerjanya di DPR selam 5 tahun.
Penulis sendiri telah merasakan betapa getir dan pahitnya pemilu dinegeri ini. Tahun 2009 yang lalu saya mencoba mengadu nasib untuk menjadi seorang Legislator DPRD Propinsi dengan modal kejujuran sebagai peembawa aspirasi yang meski saya menyadariitu tak cukup kuat dalam berjuang dinegeri ini. Kalaitu saya mengeluarkan dana kurang lebihRp. 270.000.000 untuk pembuatan Baligho, spanduk, baju kaos dan baju tim sukses, kampanye, dll. Saya mencoba untuk tidak terjerumus keranah sogok menyogok dan alhasil saya memperoleh suara ±4000 sesuai perhitungan tim saya beserta PAC di desa / kelurahan meski akhirnya berubah menjadi 1.475 setelah rekapitulasi ke tingkat kabupaten ( Entah kemana selebihnya ), dan dengan jumlah suara ini tak dapat menghantarkan saya duduk dinggasana empuknya dan sejuknya ruangan yang berada dalam gedung yang bertitelkan DPRD Propinsi.Memang masyarakat kita ini tak tergoda dengan modal kejujuran yang saya sandang, yang penting bagi mereka kala itu apa dan bagaimana dapat makan hari ini.Tak peduli apakah itu haram atau halal.
Disisi lain Panwaslu yang ditugasi untuk mengawasi tindakan para Caleg dan Tim sukses capres tak mampu berbuat banyak. Bukankah negara kita ini masih menganut sistim fiodal, belas kasihan, kekeluargaan, kenbencian bahkan balas dendam. Sampai kapanpun jika sistim ini masih merekat dalam ranah kebangsaan dan bernegara sulit untuk meluluh rentahkan kecurangan pada pemilu di negeri ini. Para kelompok Panwaslu ini apaboleh buat harus terperangah, takut, tundukdan patuh. Yang bisa dipertontonkan hanya mengawasi sang Caleg kecil dan miskin. Bukankah mereka tidak mempunyai hubungan dengan sang penguasa didaerah pemilihan itu ? yang sudah barang tentu untuk menuntaskannya cukup dengan ancaman. Tapi bagaiman dengan kelompok caleg sang penguasa ? cukup dengan tutup telinga, tutup mulut dan diam, lau berjalanlah sang caleg itu dengan gagah penuh kecurangan.
Pemilu Tahun 2014 disinyalir adalah pemilu Tercurang selama dalam sejarah pelaksanaan Pemilihan umum sejak tahun 1955. Kertas suara disinyalir banyak yang Telah terceblos sebelum Warga pemilih mencolosnya. Bahkan beberapa di antara kasus pelanggaran pemilu ini justru diduga melibatkan para caleg. Sebagian besar kasus tersebut seolah tanpa ada proses dan penindakan yang tegas. Para pengawas pemilu dan aparat penegak hukum pun seperti tak bernyali menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Temuan pelanggaran 2014 itu, antara lain, terkait
dengan dana kampanye, politik uang, penyalahgunaan fasilitas negara,
pencoblosan sebelum waktunya, ketidaknetralan penyelenggara pemilu,
penggelembungan suara, dan gugatan hasil pemilu oleh peserta pemilu.
Tidak hanya soal pelanggaran administratif dan pidana, pemilu kali ini
juga sarat diwarnai catatan hitam 2014. Lebih dari tiga nyawa dari masyarakat
sipil ikut menjadi korban selama konflik pemilu, jauh sebelum hari
pelaksanaan pemilu. Ironisnya, hingga hari ke-19 pascapemilu
dilaksanakan (28/4), tak ada satu pun kasus yang berhasil diungkap
aparat kepolisian. Kasus-kasus yang terjadi sebelum pelaksanaan pemilu
itu pun seolah tenggelam dengan adanya penemuan pelanggaran baru
pasca pemilu 9 April. Potret buram Pemilu 2014 ini mengundang
keprihatinan dari masyarakat luas yang antipati dengan Penyelenggara yang toh tak ada peneyelesaian, namun berbagai karut marut selama Pemilu 2014 terjadi
karena diawali dengan ada tolak tarik kepentingan di tingkat lapisan
pengambil kebijakan.
Kasus Money Politik atau Poltik Uang tahun 2014 mendominasi pelanggran Pemilu tersebut. Pelanggaran politik uang ini hampir terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Kondisi ini tentunya menjadi catatan besar terkait kualitas Pemilu Legislatif 2014, dikarenakan terdapat banyak indikasi pelanggaran (electoral fraud) di beberapa wilayah.
Eksposure mengenai politik uang terjadi sangat tinggi terjadi di Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, JawaTimur, Sulawesi Selatan, Papua, dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Kasus politik uang yang masuk terbanyak dari Sulawesi Tengah (10 kasus), Bengkulu (8), NTT (7), Gorontalo (6), JawaTengah (5), Sulsel (5), Sultra (4 kasus), Jatim (4), Sulut (3), Maluku (3), dan Bali (2). Sementara Maluku Utara, Papua, Sumut, Sumbar, Riau, Kepri, Banten, DIY rata-rata masuk satu kasus
Pelanggaran lain yang cukup banyak adalah penggelembungan suara, administratif, dan penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara Pemilu. Kasus tersebut terjadi di Riau, Sidoarjo, Sampit, Seluma, Balikpapan, Jawa Tengah, Aceh, Jawa Barat, Sumbawa, Kalimantan Timur, Flores Timur, Pontianak, Yogyakarta, Batam, Sumatera Utara, JawaTimur, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat.
Ironis memang untuk pemilu mendatang 2019 apalagi sang Patahana sebagai penyelenggara dibawah naungan KPU sebagai pelaksana jauh sebelum hari pelaksanaan terlihat Pemerintah Genjot dengan bagi-bagi sertifikat tanah, pengucuran dana Desa secara besar-besaran, bagi-bagi Sembako dan bahkan Memborong Sabun Mandi sebanyak 1 Miliyar dianggap hal yang biasa padahal ujung dari semua itu adalah trik untuk mendapatkan simpati dari masyarakat agar nantinya akan mendaptkan suara Signifikan dari warga yang telah dininabobokkan entah apa itu namanya.
Bawaslu dan aparat penegak hukum bersinergi dan lebih tegas dalam menindaklanjuti laporan pelanggaran pemilu terutama pelanggaran politik uang yang justru dilakukan Kepala Desa, Calon Legislatif, KPPS, PNS, pengurus partai politik dan penyelenggara pemilu.
Pertama hindari pemaksaan / ancaman dan mobilisasi massa untuk mengarahkan memilih salah satu calon utamanya dilakukan oleh orang orang yang berkuasa di desa atau kelurahan. Kedua sejahterakan masyarakat miskin didaerah agar tidak tergiur dengan iming –iming sembako, uang dll yang tak seberapa nilainya, sebab saya yakin para pemilih menerima sogokan tersebut karena keterpaksaan ekonomi yang mendesak, Nilai-nilai adat yg pernah tertanam dalam hati “ Lebih baik mati kelaparan dari pada meminta-minta ( Megemis )” ini hampir tak ada lagi tergiung ditelinga kita seperti sedia kala. Ketiga audit para caleg baik sebelum menjadi Anggota Dewan dan sesudahnya. Ini agar para caleg tidak tergiur lagi mengeluarkan dana sebanyak-banyaknya dengan harapan setelah terpilih mereka akan menjadi mafia proyek dan lain-lain. Keempat; Penempatan pengawasan anggaran di DPR yang independen agar pembagian dan jumlah anggaran ke instansi terkait tidak dapat disalah gunakan dan diatur oleh anggota Dewan. Kelima jadikan Panwaslu sebagai penentu kebijakan dalam menetapkan temuan kecurangan, meskipun ini mamnfaatnya sangat sedikit dikarenakan bukankah segala bentuk kecurangan dinegeri ini dapat dibebaskan dengan Uang, Kekeluargaan dan Ketakutan ( karena dendam dsb. ) ?
Selain itu untuk menuntaskan korupsi para legislator, alangkah baiknya sebagai langkah awal tentu memperbaiki sang penentu kebijakan anggaran yang tak lain adalah para legislator itu sendiri kemudian menyusl sampai kearah yang paling terbawah yaitu di tingkat pegawai rendahan. Yang pasti pengeluaran sang legislator tentu tidak akan sebanding berapa banyak gaji yang akan diperoleh dari hasil kerjanya di DPR sehingga nantinya para legislator itu tidak memikirkan lagi untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan selama berkampanya, dan boleh untuk selanjutnya masyarakat tidak lagi berlomba-lomba untuk menjadi legislator yang pada akhirnya partai-partai yang tidak mempunyai kader yang mumpuni akan bubar dengan sendirinya karena tidak mempunyai Caleg.
Selanjutnya sebagai keputusan Akhir ada pada Mahkama Konstitusi ( MK ) sebagai lembaga negara Law Of Power yang juga harus memiliki fungsi katalis public interest, yang berarti dalam menyiapkan keputusan harus mampu menjaga agar jangan sampai terjadi disintegrasi bangsa. MK harus memiliki kemampuan menjaga kedaulatan bangsa dalam setiap keputusannya sehingga harus ada alat ukur yang jelas untuk membuktikan apakah telah terjadi pelanggaran atau tidak. MK sebagai lembaga negara harus memperlihatkan diri tetap netral dalam mengeluarkan kebijakan termasuk dalam persiapannya.
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami