Oleh: Hilton Yip (Foreign Policy)
Ketika CFO raksasa teknologi China Huawei, Meng Wanzhou, ditangkap di Vancouver pada 1 Desember 2018, otoritas China terkejut. Kemarahan yang disebabkan segera mendatangkan peringatan yang tidak menyenangkan oleh China, yang mengancam akan memberikan “konsekuensi parah” bagi Kanada, yang segera ditindaklanjuti dengan penangkapan mendadak dua orang Kanada, diikuti oleh yang ketiga, di negara itu.
Seolah itu tidak cukup, ada juga kekhawatiran sentimen anti-Kanada dan boikot bisnis Kanada dari China.
Setelah penangkapan Meng atas tuduhan yang dikemukakan oleh Amerika Serikat (AS) terkait pelanggaran sanksi Iran, media China mengecam Kanada, mengecam penahanan Meng sebagai tidak manusiawi dan pelanggaran hak asasi manusia.
China kemudian menangkap tiga orang Kanada di China karena alasan yang tak jelas. Karena media pemerintah China secara terbuka menyerukan balas dendam, motivasi di balik penahanan ini tampak sangat jelas.
Masyarakat Kanada biasa mungkin bertanya-tanya bagaimana seluruh situasi ini telah meningkat ke titik di mana China sekarang telah menahan tiga warga Kanada dan terus menangkap warga Kanada lainya—dan mengapa masyarakat China tampaknya berada di belakangnya.
Penangkapan Meng tidak hanya mengenai kekuatan ekonomi dan teknologi China, tetapi juga menyentuh perasaan korban yang dirugikan, yang dirasakan ketika orang-orang China mengalami kesulitan di luar negeri.
Anehnya, kaitan terdekat mungkin merupakan insiden sepele yang menggelikan pada awal tahun ini, yang masih menjadi pertengkaran diplomatik besar antara Stockholm dan Beijing.
Setelah sebuah keluarga China tiba di sebuah asrama Stockholm pada tengah malam pada tanggal 2 September 2018—jauh sebelum waktu pemesanan mereka pada malam berikutnya, dan menyebabkan gangguan—mereka dikeluarkan oleh polisi. China meminta Swedia untuk meminta maaf atas apa yang oleh Duta Besar China untuk Swedia anggap sebagai “perlakuan brutal.”
Rekaman video menunjukkan keluarga yang beranggotakan tiga orang tersebut—dua orang tua setengah baya dan putra dewasa mereka—berguling-guling dan berteriak di trotoar di hadapan polisi Swedia yang kebingungan.
Ketika CFO raksasa teknologi China Huawei, Meng Wanzhou, ditangkap di Vancouver pada 1 Desember 2018, otoritas China terkejut. Kemarahan yang disebabkan segera mendatangkan peringatan yang tidak menyenangkan oleh China, yang mengancam akan memberikan “konsekuensi parah” bagi Kanada, yang segera ditindaklanjuti dengan penangkapan mendadak dua orang Kanada, diikuti oleh yang ketiga, di negara itu.
Seolah itu tidak cukup, ada juga kekhawatiran sentimen anti-Kanada dan boikot bisnis Kanada dari China.
Setelah penangkapan Meng atas tuduhan yang dikemukakan oleh Amerika Serikat (AS) terkait pelanggaran sanksi Iran, media China mengecam Kanada, mengecam penahanan Meng sebagai tidak manusiawi dan pelanggaran hak asasi manusia.
China kemudian menangkap tiga orang Kanada di China karena alasan yang tak jelas. Karena media pemerintah China secara terbuka menyerukan balas dendam, motivasi di balik penahanan ini tampak sangat jelas.
Masyarakat Kanada biasa mungkin bertanya-tanya bagaimana seluruh situasi ini telah meningkat ke titik di mana China sekarang telah menahan tiga warga Kanada dan terus menangkap warga Kanada lainya—dan mengapa masyarakat China tampaknya berada di belakangnya.
Penangkapan Meng tidak hanya mengenai kekuatan ekonomi dan teknologi China, tetapi juga menyentuh perasaan korban yang dirugikan, yang dirasakan ketika orang-orang China mengalami kesulitan di luar negeri.
Anehnya, kaitan terdekat mungkin merupakan insiden sepele yang menggelikan pada awal tahun ini, yang masih menjadi pertengkaran diplomatik besar antara Stockholm dan Beijing.
Setelah sebuah keluarga China tiba di sebuah asrama Stockholm pada tengah malam pada tanggal 2 September 2018—jauh sebelum waktu pemesanan mereka pada malam berikutnya, dan menyebabkan gangguan—mereka dikeluarkan oleh polisi. China meminta Swedia untuk meminta maaf atas apa yang oleh Duta Besar China untuk Swedia anggap sebagai “perlakuan brutal.”
Rekaman video menunjukkan keluarga yang beranggotakan tiga orang tersebut—dua orang tua setengah baya dan putra dewasa mereka—berguling-guling dan berteriak di trotoar di hadapan polisi Swedia yang kebingungan.
Sebuah acara televisi Swedia, Svenska Nyheter, kemudian menayangkan parodi wisatawan China, yang oleh Kementerian Luar Negeri China anggap sebagai “penghinaan besar-besaran dan serangan ganas terhadap China dan warga negara China.” Meskipun acara itu kemudian meminta maaf dua kali, namun China tidak puas. Ini mendorong pembawa acara itu untuk kemudian meminta maaf kepada warga China yang tersinggung, tetapi tidak kepada pihak berwenang.
Kritik terus-menerus terhadap otoritas Swedia dan acara televisi tersebut oleh otoritas China, memicu gelombang kemarahan online di China, yang menyerukan boikot terhadap perusahaan Swedia seperti Ikea dan H&M, dan bahkan Swedia sendiri.
Perilaku para wisatawan China mungkin memang berlebihan, tetapi itu bisa dipahami dari konteks China. Penipuan umum terjadi di daratan China, termasuk skema investasi Ponzi, barang palsu, dan orang-orang yang menjatuhkan diri di depan mobil dan kemudian mengklaim bahwa mereka ditabrak. Itu membuat kebiasaan paranoia di antara warga China yang semakin buruk di luar negeri. Jika rekan senegara Anda mampu menipu Anda sepanjang waktu, apa yang akan dilakukan orang asing terhadap Anda?
Pemerintah China sengaja memperkuat ketakutan itu. Retorika ‘memposisikan diri sebagai korban’ menjadi sangat melekat pada sikap resmi China.
Tahun ini juga melihat China menuduh Amerika Serikat melakukan intimidasi, setelah Amerika memberlakukan tarif atas $200 miliar barang-barang China. Pemerintah Australia dikritik karena memiliki “bias ideologis” terhadap China. China juga mengklaim bahwa perasaan 1,3 miliar masyarakat China terluka ketika Mercedes Benz mengutip Dalai Lama di akun Instagram-nya—yang terbaru dalam daftar panjang contoh di mana China mengklaim perasaan masyarakat China telah terluka.
‘Perasaan menjadi korban’ yang dimiliki China ini sering dikaitkan dengan “abad penghinaan” yang terjadi antara Perang Candu di pertengahan abad ke-19 dan pembentukan Republik Rakyat China (RRC) pada tahun 1949. Banyak akademisi, penulis, dan pengamat Barat tampaknya menerima narasi ini dan melihatnya sebagai cara vital untuk memahami bagaimana China melihat dunia.
Bahkan dengan Meng Wanzhou, Perang Candu telah dikutip sebagai faktor yang memungkinkan dalam kemarahan China terhadap Kanada atas penahanannya yang sepenuhnya legal dan transparan.
Pemerintah China telah menjadi mahir dalam mengeksploitasi dan membesar-besarkan “abad penghinaan”, baik untuk menggalang dukungan dari warga China maupun menuduh negara-negara asing mengambil keuntungan dari China. Memang benar bahwa China sangat menderita selama abad ke-19 dan ke-20. Tetapi begitu pula sebagian besar dunia.
Di negara lain, nasionalisme masam yang diwakili oleh narasi-narasi ‘merasa seolah jadi korban’ (playing victim) seperti ini lebih mudah diidentifikasi sebagai alat yang dipolitisasi. Tetapi banyak analis China tampaknya memberikan bobot yang tidak proporsional pada gagasan penderitaan yang berakhir beberapa generasi yang lalu, dan yang dipertahankan oleh propaganda resmi yang disengaja, bukan ingatan sejarah yang asli.
Kritik terus-menerus terhadap otoritas Swedia dan acara televisi tersebut oleh otoritas China, memicu gelombang kemarahan online di China, yang menyerukan boikot terhadap perusahaan Swedia seperti Ikea dan H&M, dan bahkan Swedia sendiri.
Perilaku para wisatawan China mungkin memang berlebihan, tetapi itu bisa dipahami dari konteks China. Penipuan umum terjadi di daratan China, termasuk skema investasi Ponzi, barang palsu, dan orang-orang yang menjatuhkan diri di depan mobil dan kemudian mengklaim bahwa mereka ditabrak. Itu membuat kebiasaan paranoia di antara warga China yang semakin buruk di luar negeri. Jika rekan senegara Anda mampu menipu Anda sepanjang waktu, apa yang akan dilakukan orang asing terhadap Anda?
Pemerintah China sengaja memperkuat ketakutan itu. Retorika ‘memposisikan diri sebagai korban’ menjadi sangat melekat pada sikap resmi China.
Tahun ini juga melihat China menuduh Amerika Serikat melakukan intimidasi, setelah Amerika memberlakukan tarif atas $200 miliar barang-barang China. Pemerintah Australia dikritik karena memiliki “bias ideologis” terhadap China. China juga mengklaim bahwa perasaan 1,3 miliar masyarakat China terluka ketika Mercedes Benz mengutip Dalai Lama di akun Instagram-nya—yang terbaru dalam daftar panjang contoh di mana China mengklaim perasaan masyarakat China telah terluka.
‘Perasaan menjadi korban’ yang dimiliki China ini sering dikaitkan dengan “abad penghinaan” yang terjadi antara Perang Candu di pertengahan abad ke-19 dan pembentukan Republik Rakyat China (RRC) pada tahun 1949. Banyak akademisi, penulis, dan pengamat Barat tampaknya menerima narasi ini dan melihatnya sebagai cara vital untuk memahami bagaimana China melihat dunia.
Bahkan dengan Meng Wanzhou, Perang Candu telah dikutip sebagai faktor yang memungkinkan dalam kemarahan China terhadap Kanada atas penahanannya yang sepenuhnya legal dan transparan.
Pemerintah China telah menjadi mahir dalam mengeksploitasi dan membesar-besarkan “abad penghinaan”, baik untuk menggalang dukungan dari warga China maupun menuduh negara-negara asing mengambil keuntungan dari China. Memang benar bahwa China sangat menderita selama abad ke-19 dan ke-20. Tetapi begitu pula sebagian besar dunia.
Di negara lain, nasionalisme masam yang diwakili oleh narasi-narasi ‘merasa seolah jadi korban’ (playing victim) seperti ini lebih mudah diidentifikasi sebagai alat yang dipolitisasi. Tetapi banyak analis China tampaknya memberikan bobot yang tidak proporsional pada gagasan penderitaan yang berakhir beberapa generasi yang lalu, dan yang dipertahankan oleh propaganda resmi yang disengaja, bukan ingatan sejarah yang asli.
Ambillah contoh “menyakiti perasaan masyarakat China,” frase yang
awalnya diciptakan oleh para pejabat pemerintah Partai Komunis China
pada tahun 1959, dan digunakan terus-menerus untuk menggambarkan
tindakan yang membuat negara itu berada dalam nasib yang buruk.
Alih-alih menyikapi kritik atau tindakan itu sendiri, frase tersebut
justru menjadikan rakyat—bukan partai atau negara—sebagai subjek yang
dirugikan.
Tampaknya munafik bagi China untuk terus menggunakan taktik ini. Sebagai negara ekonomi global terbesar kedua dan bisa dibilang negara terkuat di Asia, China sudah bukan negara tidak berdaya lagi. Terlepas dari “penghinaan” masa lalu oleh Barat, China tidak memiliki pembenaran untuk menjadi korban atau mengintimidasi negara-negara Asia.
China terlibat dalam perselisihan dengan negara tetangga seperti India, Vietnam, Filipina, dan Korea Selatan, dan telah menduduki sebagian besar Laut China Selatan melalui pulau-pulau militer.
Ketika menyangkut negara tetangga kecilnya, Taiwan, tidak ada keraguan siapa pelaku intimidasi. China menghalangi Taiwan untuk berpartisipasi dalam forum internasional yang paling kecil sekali pun, terbang di wilayah udara Taiwan, dan mengklaim warga Taiwan sebagai miliknya.
Bagi Partai Komunis China yang berkuasa, perasaan menjadi korban ini
memberikan banyak manfaat. Ini akan mengkambing-hitamkan orang asing,
terutama Barat, untuk banyak masalah China, dan memusatkan kemarahan
domestik dan pengawasan terhadap partai.
Tidak ada keharusan untuk bertanggung jawab atas tindakan Anda sendiri, jika Anda dapat memanfaatkan keluhan sejarah seperti “abad penghinaan.”
Perang Candu jauh lebih jelas dalam memori historis anak muda China daripada masa kelaparan kakek-nenek mereka sendiri, pada saat Great Leap Forward. Retorika status sebagai korban membangun rasa konfrontasi dengan Barat yang berguna bagi partai, yang sangat khawatir tentang penetrasi ideolog
is oleh ide-ide asing.
Karenanya, bahkan beberapa orang China berpikir sudah waktunya bagi negara mereka untuk berhenti memainkan kartu korban. Seorang akademisi China pada bulan September ini, meminta negara itu untuk melepaskan kemarahannya, dengan mengatakan bahwa perasaan jadi korban terus menerus membangkitkan perasaan balas dendam dan menghalangi China untuk menyerap “nilai-nilai rasional” dari Barat.
Sudah saatnya Barat berhenti menanggapi sikap playing victim China dengan tegas. Para akademisi, penulis, dan pakar China perlu mengambil pandangan yang lebih kritis dan rasional dari “abad penghinaan” China.
China tidak dapat menggunakan sejarah sebagai alat untuk melakukan apa pun yang diinginkannya.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
Keterangan foto utama: Ada Yu dan Wade Meng (tidak ada hubungan) berdiri membawa tanda-tanda di luar BC Supreme Court, sebelum sidang jaminan untuk CFO Huawei Technologies Meng Wanzhou pada 10 Desember 2018 di Vancouver, Kanada. (Foto: Getty Images/Rich Lam)
Tampaknya munafik bagi China untuk terus menggunakan taktik ini. Sebagai negara ekonomi global terbesar kedua dan bisa dibilang negara terkuat di Asia, China sudah bukan negara tidak berdaya lagi. Terlepas dari “penghinaan” masa lalu oleh Barat, China tidak memiliki pembenaran untuk menjadi korban atau mengintimidasi negara-negara Asia.
China terlibat dalam perselisihan dengan negara tetangga seperti India, Vietnam, Filipina, dan Korea Selatan, dan telah menduduki sebagian besar Laut China Selatan melalui pulau-pulau militer.
Ketika menyangkut negara tetangga kecilnya, Taiwan, tidak ada keraguan siapa pelaku intimidasi. China menghalangi Taiwan untuk berpartisipasi dalam forum internasional yang paling kecil sekali pun, terbang di wilayah udara Taiwan, dan mengklaim warga Taiwan sebagai miliknya.
Para pendukung Meng Wanzhou berkumpul di luar pengadilan di Vancouver. (Foto: AFP) |
Tidak ada keharusan untuk bertanggung jawab atas tindakan Anda sendiri, jika Anda dapat memanfaatkan keluhan sejarah seperti “abad penghinaan.”
Perang Candu jauh lebih jelas dalam memori historis anak muda China daripada masa kelaparan kakek-nenek mereka sendiri, pada saat Great Leap Forward. Retorika status sebagai korban membangun rasa konfrontasi dengan Barat yang berguna bagi partai, yang sangat khawatir tentang penetrasi ideolog
is oleh ide-ide asing.
Karenanya, bahkan beberapa orang China berpikir sudah waktunya bagi negara mereka untuk berhenti memainkan kartu korban. Seorang akademisi China pada bulan September ini, meminta negara itu untuk melepaskan kemarahannya, dengan mengatakan bahwa perasaan jadi korban terus menerus membangkitkan perasaan balas dendam dan menghalangi China untuk menyerap “nilai-nilai rasional” dari Barat.
Sudah saatnya Barat berhenti menanggapi sikap playing victim China dengan tegas. Para akademisi, penulis, dan pakar China perlu mengambil pandangan yang lebih kritis dan rasional dari “abad penghinaan” China.
CFO Huawei, Meng Wanzhou, telah ditahan di Vancouver sejak 1 Desember dan akan diekstradisi ke Amerika Serikat. (Foto: Huawei via CNN) |
China tidak dapat menggunakan sejarah sebagai alat untuk melakukan apa pun yang diinginkannya.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
Keterangan foto utama: Ada Yu dan Wade Meng (tidak ada hubungan) berdiri membawa tanda-tanda di luar BC Supreme Court, sebelum sidang jaminan untuk CFO Huawei Technologies Meng Wanzhou pada 10 Desember 2018 di Vancouver, Kanada. (Foto: Getty Images/Rich Lam)
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami