Oleh: Jonathan W. Rosen (World Politics Review)
Duduk di lobi sebuah hotel Lusaka bulan lalu, James Lukuku merasa bersemangat.
Sebagai Pemimpin Partai Progresif Republik Zambia—kelompok oposisi pinggiran—Lukuku telah mendapatkan ketenaran dalam beberapa bulan terakhir sebagai salah satu kritikus yang paling vokal tentang hubungan Zambia dengan China—sebuah ikatan yang ia dan orang lain katakan ditandai dengan peminjaman yang semakin nekat, yang menempatkan kedaulatan Zambia berada dalam risiko.
Pria berusia 37 tahun itu menjadi berita utama pada bulan September ketika dia melakukan protes seorang diri di Lusaka—ibu kota Zambia—memegang tanda yang menyamakan China dengan Hitler, sambil mengenakan T-shirt dengan kata-kata “Donald Trump Help” tertulis dengan warna merah dan spidol hitam.
Kini, tampaknya, sesama warga Zambia menerima pesan itu. Sehari sebelumnya, pada tanggal 5 November 2018, ratusan penduduk Kitwe—sebuah kota di Copperbelt yang kaya mineral—telah melakukan kerusuhan setelah muncul desas-desus bahwa pemerintah siap untuk menyerahkan perusahaan kayu milik negara kepada sebuah entitas China.
Para pengunjuk rasa—banyak dari mereka yang bekerja di bidang penggergajian lokal khawatir bahwa mereka akan segera keluar dari pekerjaan atau dipekerjakan oleh orang asing—terlibat dalam pertempuran dengan polisi, membakar ban, dan menyerang serta menjarah toko-toko China. Lebih dari 100 orang ditangkap.
Desas-desus itu ternyata tidak benar; saham perusahaan, yang dikenal dengan akronimnya ZAFFICO, memang dijual, meskipun tetap terdaftar di bursa saham nasional, dan bukannya melalui penyerahan langsung kepada orang asing. Tapi itu tidak terlalu penting.
Penyebutan penjualan ZAFFICO saja memainkan sentimen anti-China yang sudah memuncak, sebagian karena kesepakatan kontroversial lainnya yang ditandatangani antara perusahaan China dan perusahaan milik negara Zambia.
Di negara yang telah lama dianggap sebagai pijakan paling penting bagi China di Afrika, Lukuku bersikeras bahwa 17 juta warga Zambia sudah merasa muak.
“Orang-orang telah mulai menyadari bahwa China harus dihentikan,” katanya, menunjuk ke kausnya, yang telah dicetak secara profesional dan bertuliskan ‘#say no 2China.’
“Investasi China menguntungkan individu di partai yang berkuasa dan tidak menguntungkan rakyat umum. China ingin meminjamkan dan meminjamkan dan meminjamkan. Tetapi kami sedang mengalami situasi di mana kami tidak dapat membayar utang tersebut.”
Perambahan China hingga Afrika—yang telah menyebabkan peningkatan perdagangan lebih dari 20 kali lipat sejak pergantian abad—telah lama menarik para kritikus. Banyak yang menyayangkan bahwa impor China murah telah menyebabkan barang-barang manufaktur lokal kalah saing dan harus keluar dari pasar.
Yang lain mengatakan bahwa pemerintah China terlalu bersemangat untuk melakukan kesepakatan dengan para penguasa, dan perusahaan-perusahaannya mengimpor terlalu banyak pekerja terampil sementara memperlakukan pekerja lokal dengan buruk.
Tetapi penekanan Lukuku pada utang memang menceritakan sesuatu. Zambia, dia mencatat, adalah salah satu dari 30 negara Afrika yang sebagian besar utangnya telah dihapuskan pada pertengahan tahun 2000-an, sebagai bagian dari inisiatif Heavily Indebted Poor Countries and Multilateral Debt Relief, yang bersama-sama dipimpin oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Namun satu dekade kemudian, catatan utang negara itu kembali merah.
Pada akhir tahun 2017, utang luar negeri Zambia mencapai $8,7 miliar—lebih tinggi dari puncak pra-dana talangan. Utang pemerintah secara keseluruhan adalah 59 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari 21 persen pada tahun 2011, ketika Front Patriotik yang berkuasa mengambil alih kekuasaan.
Lembaga Penelitian dan Analisis Kebijakan Zambia—sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Lusaka—memperingatkan bahwa tingkat utang ini berada “di wilayah yang tidak berkelanjutan.”
Kesulitan Zambia bukanlah hal yang aneh. Saat ini, kira-kira separuh negara di Afrika memiliki utang publik luar biasa yang melebihi 50 persen PDB. Pada bulan Agustus, IMF telah
mengkategorikan enam negara berpenghasilan rendah di Afrika, termasuk negara tetangga Zambia, Zimbabwe dan Mozambik, sebagai negara yang menderita “kesulitan utang”—memungkinkan mereka kesulitan melunasi pinjaman.
Sembilan negara lainnya, termasuk Zambia, dikatakan berada dalam “risiko tinggi.”
Posisi utang Afrika yang memburuk adalah hasil dari banyak faktor, termasuk jatuhnya harga komoditas global sejak tahun 2014, tingkat perpajakan rendah, dan kecenderungan pemerintah yang semakin berkembang untuk mengeluarkan Eurobonds: sekuritas mata uang asing yang biasanya menanggung bunga lebih tinggi daripada pinjaman dari lembaga keuangan internasional atau mitra pembangunan bilateral.
Tetapi peran China juga penting. Meskipun persyaratan pembiayaan China umumnya tidak jelas, namun Inisiatif Riset China-Afrika Johns Hopkins University memperkirakan bahwa China memberikan pinjaman $143 miliar kepada Afrika antara tahun 2000 dan 2017, dengan setidaknya 80 persen berasal dari lembaga negara China.
The Jubilee Debt Campaign—pengawas yang berbasis di Inggris—berpendapat bahwa pemerintah Afrika berutang sekitar 20 persen dari utang eksternal mereka kepada negara China—lebih dari setengah dari semua utang negara Afrika yang berutang kepada pemerintah asing.
Pada Forum 2018 tentang Kerja Sama China-Afrika, yang diadakan di Beijing pada bulan September, Presiden China Xi Jinping mengumumkan target tambahan investasi dan pinjaman senilai $60 miliar kepada negara-negara Afrika, yang menunjukkan bahwa aliran pemberian pinjaman tidak akan berkurang dalam waktu dekat.
Para pendukung model pinjaman China mencatat, bahwa sebagian besar uang ini digunakan untuk membangun infrastruktur, termasuk jalan, jembatan, pelabuhan, dan pembangkit listrik, yang membentuk blok bangunan industrialisasi Afrika. Tetapi utang itu juga datang dengan biaya tersembunyi.
Kritikus mengatakan bahwa sifat pribadi dari pembuatan kesepakatan dengan China—yang tidak memiliki transparansi yang diminta oleh Bank Dunia, IMF, dan pemberi pinjaman lain dari Barat—sering melibatkan suap kepada pejabat yang korup, dan terlalu sering menghasilkan proyek-proyek ‘gaya-gayaan’ yang tidak benar-benar diperlukan. Dalam banyak kasus, pemerintah menunjuk perusahaan China untuk proyek tanpa tender yang kompetitif, yang mengarah pada pekerjaan yang terlalu mahal.
Di lain waktu, entitas China—yang mendapat manfaat dari skala dan keuangan negara China—mematok harga sangat murah untuk mematikan persaingan, meminggirkan perusahaan lokal, dan melakukan pekerjaan yang buruk karena mereka telah memangkas terlalu banyak.
Ketika pinjaman telah menumpuk, para pejabat Barat semakin menuduh pemerintah China menerapkan “perangkap utang”: membiayai proyek-proyek dengan risiko gagal bayar yang tinggi, dengan tujuan akhir membuat negara-negara peminjam melepaskan sumber daya strategis.
Dalam pidato pada bulan Oktober, Wakil Presiden AS Mike Pence mengecam “diplomasi jebakan utang China,” dengan alasan bahwa manfaat dari pinjaman China “mengalir sangat besar ke Beijing.”
Grant Harris—seorang pejabat senior Afrika di Gedung Putih Obama—telah menyebut utang China sebagai “sabu-sabu pembiayaan infrastruktur,” dan menulis bahwa itu “sangat adiktif, siap tersedia, dan dengan efek negatif jangka panjang yang jauh lebih tinggi daripada efek sementaranya.”
Anggota masyarakat di Afrika yang khawatir, sering mengambil contoh Sri Lanka sebagai contoh potensial yang mengkhawatirkan: Desember lalu, setelah berjuang untuk membayar cicilan untuk pembangunan pelabuhan Hambantota yang dibiayai China—proyek kesayangan mantan Presiden Mahinda Rajapaksa yang dijauhi oleh pemberi pinjaman lain—pemerintah Sri Lanka secara resmi menyerahkannya kepada China dengan jangka waktu 99 tahun.
Pada Februari 2018, menurut statistik pemerintah, 28 persen utang asing Zambia adalah utang ke China—angka yang mungkin lebih tinggi, karena transaksi China terkadang tidak dilaporkan dan kontrak utang yang belum dicairkan tidak termasuk dalam data resmi.
Zambia belum menyerahkan aset nasional apa pun. Namun ZNBC (radio nasional dan pemilik siaran televisi), dan ZESCO (perusahaan listrik nasional), telah membantu menjamin pinjaman China mereka dengan mendirikan usaha patungan dengan perusahaan-perusahaan China milik negara.
Kritikus mengatakan bahwa kesepakatan ini memberi China keuntungan yang membahayakan sumber daya nasional utama, dan mungkin menjadi langkah menuju pada akhirnya penyerahan aset kepada China sepenuhnya.
Masalah utang juga menjadi objek berita sensasional bagi media, dan memberi bahan untuk serangan politisi oposisi, yang tampaknya siap mengeksploitasi sentimen anti-China yang tumbuh menjelang pemilihan umum Zambia berikutnya, yang akan diadakan pada tahun 2021.
Untuk saat ini, para ahli kebijakan tidak setuju pada sejauh mana utang Zambia kepada China menimbulkan bahaya, serta taruhan terbaik negara itu untuk menghindari krisis ekonomi penuh.
Hampir semua setuju, bahwa utang negara di Zambia—dan di banyak wilayah Afrika—meningkat terlalu cepat. Dengan pembayaran utang yang sudah mengorbankan pengeluaran untuk pembangunan, rakyat Zambia merasakan bahaya—dan kesabaran mereka atas kesenangan partai yang berkuasa terhadap China mulai berkurang.
“Sangat sulit untuk melihat titik terang dari situasi ini,” kata Trevor Simumba, seorang ahli perdagangan dan investasi Zambia, dan penulis studi baru-baru ini tentang pinjaman China untuk negara itu. “Ini adalah pemerintah yang tidak ingin menghentikan pengeluaran, dan itu adalah masalah.”
“Kita sudah melihat adanya tekanan sosial,” tambahnya, mengutip kerusuhan di Kitwe. “Ketegangan ini terus berkembang—dan jika tidak ditangani dengan baik, saya tidak melihat ada hal baik yang akan datang.”
‘Sekutu di Kala Senang dan Susah’ bagi Zambia
Bagi pengunjung yang datang ke Lusaka—sebuah kota berpenduduk dua juta orang di mana jalan-jalan besar yang dipenuhi pepohonan bugenvil terletak bersebelahan dengan kota-kota yang berpasir—kehadiran China yang berkembang di negara ini sulit untuk dilewatkan.Kita bahkan tidak perlu meninggalkan bandara: Di antara proyek-proyek terbesar dan paling kontroversial yang dibiayai China adalah terminal senilai $360 juta di Kenneth Kaunda International yang akan dibuka tahun depan.
Di kota itu sendiri, mungkin kita bisa menghabiskan sore hari berbelanja untuk perabotan di China Mall, makan dengan mie rebus Henan atau hot pot Sichuan, dan menghabiskan malam di Great Wall Casino yang dipenuhi asap dengan banyak pria China di sekitar meja poker.
Ekspatriat China berlimpah—di lokasi konstruksi, di front desk hotel-hotel, atau yang sedang bersantai di akhir pekan di salah satu mal perbelanjaan berkilauan di Lusaka.
Desember lalu, delapan orang China secara singkat direkrut sebagai pasukan cadangan dalam pasukan polisi Zambia, meskipun penunjukan mereka dibatalkan setelah terjadi kecaman publik.
Tak lama, orang China bisa menjadi supir taksi. Seorang pengemudi yang bekerja untuk aplikasi pemesanan kendaraan pribadi Zambia ala Uber, Ulendo, menceritakan kisah tentang klien China—baru-baru ini tiba—yang bertanya tentang cara bergabung dengan armada perusahaan tersebut.
Hubungan Zambia dengan China berjalan lebih dalam daripada kebanyakan negara di Afrika. Megaproyek buatan China di Zambia yang pertama, dibangun sesaat setelah kemerdekaan Zambia pada tahun 1964, ketika Presiden Zambia Kenneth Kaunda mengupayakan sambungan transportasi ke laut yang melewati rezim minoritas kulit putih yang bermusuhan di Zimbabwe dan Afrika Selatan.
Walau pemerintah Barat ragu-ragu, namun Kaunda dan Presiden Tanzania Julius Nyerere, mengamankan pinjaman tanpa bunga senilai $400 juta dari Mao Zedong untuk membangun TAZARA, sebuah kereta sepanjang 1.160 mil yang menghubungkan Copperbelt Zambia ke Dar es Salaam di pantai Tanzania.
Sebagai imbalan atas sumbangannya, China mendapat dukungan diplomatik dari kedua negara itu: Zambia dan Tanzania termasuk di antara 23 sponsor bersama resolusi PBB 1971 yang membuat China mengganti Taiwan di Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.
“Pada diri Kaunda dan Mao, Anda melihat penyempurnaan hubungan yang hebat,” kata Sunday Chanda, juru bicara Front Patriotik, mengutip berbagai proyek infrastruktur yang menyusul setelah proyek kereta api. “China telah menjadi teman di kala senang dan susah bagi Zambia.”
Namun hubungan itu bukannya tanpa kontroversi. Pada tahun 1997, ketika Presiden kedua Zambia, Frederick Chiluba, memprivatisasi tambang tembaga negara itu, perusahaan-perusahaan China—bersama rekan-rekan mereka dari Kanada, Swiss, India, dan Afrika Selatan—mencaploknya, dan mengambil keuntungan dari harga tembaga dunia yang rendah dan ekonomi Zambia yang lemah untuk merebut konsesi penambangan utama dengan diskon besar-besaran.
Sejak awal, konsesi Zambia yang pertama dengan China, di kota Chambishi, dirusak oleh laporan pelanggaran tenaga kerja, termasuk upah rendah dan kondisi keselamatan yang buruk.
Sebuah ledakan di dekat tambang menewaskan 46 pekerja Zambia pada tahun 2005—tahun pertama operasi—dan memicu kecaman lebih lanjut, ketika laporan-laporan muncul bahwa pengawas China telah lari untuk berlindung sesaat sebelum ledakan itu dan gagal memperingatkan staf Zambia mereka akan bahaya yang mengancam.
Pada tahun 2006, sengketa gaji di tambang mengakibatkan para pekerja merusak peralatan dan memukuli seorang manajer China; pengawas China lainnya membalas dengan melukai beberapa warga Zambia dengan senapan. Kemudian, seperti sekarang, sentimen anti-China menjadi titik penting bagi politik oposisi.
Michael Sata—yang gagal bersaing dalam Pemilihan Presiden Zambia 2006—menggambarkan China sebagai “lintah darat” alih-alih investor, dan menuduh lawannya menyerahkan kedaulatan Zambia.
Namun lima tahun kemudian, ketika Sata memenangkan kursi kepresidenan, nadanya sangat berbeda. China bukan lagi hantu. Negara itu sekarang menjadi sumber penting keuangan proyek infrastruktur—salah satu dari banyak sumber, ternyata, yang dimanfaatkan pemerintahnya yang dipimpin Front Patriotik ketika ia mengadakan ‘pesta’ pembangunan infrastruktur.
Didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat pada dekade pertama abad ini—sebagian karena konsekuensi dari harga tembaga global yang meningkat—Zambia menandatangani kesepakatan untuk proyek-proyek termasuk jalan raya, jembatan, rumah sakit, pabrik pengolahan air, dua stadion berkapasitas 50.000 lebih, bandara di Lusaka dan satu lagi di Copperbelt, dan pembangkit listrik tenaga air 750 megawatt.
Sebagian besar ini didanai oleh China: Pada tahun 2016 saja, Zambia menerima pinjaman senilai $1,7 miliar dari sumber-sumber China, termasuk Exim Bank milik negara, Bank Pembangunan China, dan Bank Industri dan Komersial China.
Dibantu dengan keringanan utang sebelumnya, Zambia juga beralih ke sumber multilateral, termasuk Bank Dunia, serta pasar, menerbitkan Eurobonds senilai $3 miliar antara tahun 2012 dan 2015.
Meskipun banyak dari proyek-proyek ini dibutuhkan, namun kritikus mengatakan bahwa pemerintah mengambil banyak utang terlalu cepat. Pada akhir tahun 2018, lembaga pemeringkat Fitch memproyeksikan bahwa utang luar negeri akan mencapai 69 persen dari PDB; di negara berpenghasilan rendah, para ekonom mengatakan bahwa apa pun di atas 40 persen akan berisiko.
Kemampuan Zambia untuk membayar kembali utangnya terhalang oleh pertumbuhan yang terhambat sejak tahun 2014, ketika harga tembaga kembali jatuh. Yang membuatnya makin buruk adalah korupsi yang tampaknya meningkat, terutama sejak Presiden Edgar Lungu saat ini mengambil alih kekuasaan setelah kematian Sata pada tahun 2014.
Dalam satu episode yang terkenal tahun lalu, pemerintah Lungu membeli 42 mobil pemadam kebakaran seharga $42 juta—dilaporkan 70 persen jumlahnya telah di-mark-up—sebuah kesepakatan yang dikatakan anggota masyarakat sipil Zambia dirancang untuk menyalurkan uang tunai ke dalam kantong kroni Front Patriotik.
Pada bulan September, beberapa donor Eropa—terkesima dengan tindakan keras Lungu yang semakin meningkat dan membatasi kebebasan berekspresi—menghentikan bantuan setelah mengungkap bukti penggelapan dalam sebuah program yang memberikan pembayaran tunai kepada warga negara miskin Zambia.
Dengan membuka lubang baru dalam anggaran, ini membuat situasi fiskal Zambia menjadi lebih buruk. Hal ini juga semakin menggerogoti kepercayaan investor, yang menyebabkan depresiasi mata uang Zambia, kwacha, dan mendorong imbal hasil obligasi di atas 16 persen—membuat pinjaman menjadi lebih mahal.
Eurobonds Zambia telah menjadi salah satu kinerja terburuk pada tahun 2018 di setiap negara pasar berkembang.
Dampak ekonomi makin signifikan. Perusahaan lokal melaporkan bahwa semakin sulit untuk mengakses keuangan. Pajak baru yang mencurigakan juga muncul. Beberapa dari pungutan yang diusulkan—terkait laporan cuaca dan lubang bor—hampir secara konyol meragukan.
Anggaran tahun 2019 Zambia mengalokasikan lebih banyak uang untuk pembayaran layanan utang daripada gabungan kesehatan dan pendidikan—bidang-bidang di mana pemerintah telah berjuang untuk mengelola arus kasnya. Pegawai negeri secara rutin melaporkan upah yang tertunda, dan fasilitas kesehatan kesulitan untuk membeli obat-obatan yang penting.
Pada bulan Oktober, Vesper Shimuzhila, seorang mahasiswa tahun keempat di Universitas Zambia, tewas setelah polisi melemparkan gas air mata di kamarnya, menyusul protes di dekat kampus atas tunjangan makan yang tidak dibayar.
Pihak berwenang memberikan tunjangan siswanya pada hari berikutnya, tetapi teman-teman Shimuzhila mengatakan bahwa jika dia tidak terbunuh, mereka mungkin tidak akan pernah membayarnya.
Perangkap Utang, Dana Talangan, dan Permainan Kartu Politik China
Meskipun semakin jelas bahwa Zambia—seperti negara-negara lain di Afrika—sedang menuju krisis, namun tingkat keparahan krisis tersebut masih kurang jelas, seperti juga tingkat seberapa besar China harus disalahkan.
Pinjaman China, bahkan banyak kritikus mengakui, telah melakukan banyak hal baik untuk benua itu. Selain mendorong pembangunan infrastruktur, para ekonom menunjukkan bahwa aliran keuangan China sering kontra-siklus, yang berarti mereka cenderung tidak mengering seperti modal swasta selama kemerosotan ekonomi.
Suku bunga pinjaman China juga umumnya jauh lebih rendah daripada tingkat pinjaman komersial seperti Eurobonds. Lubinda Haabazoka, Presiden dari Asosiasi Ekonomi Zambia, mengatakan bahwa kekhawatirannya yang paling mendesak adalah bagaimana Zambia akan membayar kembali utang-utang Eurobonds-nya, terutama karena jatuh temponya akan terjadi pada tahun 2022.
“Dengan Eurobonds, Anda tidak bermain-main ketika pembayaran jatuh tempo,” dia berkata. “Ini benar-benar komersial—tidak seperti pinjaman China yang telah diperpanjang oleh individu yang terhubung. Utang China dengan mudah dapat dinegosiasi ulang, direstrukturisasi, atau dibiayai kembali.”
Namun yang lain berpendapat bahwa pinjaman China datang dengan karakteristik tertentu yang membuat jenis pinjaman itu sangat mengkhawatirkan. Sementara Haabazoka melihat fleksibilitas dalam gaya pinjaman Beijing—di mana transaksi sering dibuat di belakang pintu tertutup di istana-istana negara atau kementerian pemerintah—Simumba, konsultan perdagangan dan investasi, melihat beberapa bendera merah.
Hal ini tidak hanya memberikan para pejabat lokal jalan yang mudah untuk korupsi, katanya; itu juga mengarah pada proyek khayalan yang tidak masuk akal secara ekonomi. Simumba mengutip terminal bandara baru Lusaka—yang dibangun tanpa tender yang kompetitif dan dirancang untuk mengakomodasi peningkatan lalu lintas 10 kali lipat yang tidak mungkin—sebagai contoh utama untuk proyek khayalan.
Untuk proyek-proyek yang diperlukan, dia dan kritikus lainnya mengatakan, pemerintah Zambia telah menandatangani kesepakatan dengan biaya yang terlalu tinggi, sebagian untuk memfasilitasi suap.
Pada tahun 2017, pemerintah menugaskan pembangunan jalan raya sepanjang 321 kilometer dari Lusaka ke Ndola—salah satu dari tiga kota utama di Copperbelt. Saat ini, jalan raya itu sedang dibangun perusahaan China yang dimiliki negara, Jianxi Corporation, seharga $1,2 miliar—dua kali lipat jumlah yang dikemukakan Institut Teknik Zambia, dan dilaporkan sebagai jalan termahal pada basis per kilometer di wilayah tersebut.
“Jalan raya ke Ndola sangat dibutuhkan,” kata Laura Miti, Direktur Eksekutif Alliance for Community Action, sebuah LSM yang berbasis di Lusaka yang berfokus pada akuntabilitas di sektor publik. “Tetapi bahkan ketika pemerintah sedang melaksanakan proyek-proyek yang diperlukan, motivasinya tampaknya selalu mengumpulkan kekayaan. Rantai patronase—orang-orang yang menghasilkan uang dari setiap proyek—sangat panjang.”
Simumba setuju, dan mencatat bahwa kegagalan China untuk menuntut pemerintahan yang baik dari penerima pinjaman—tidak seperti mitra pinjaman di Barat—memiliki kecenderungan untuk menjadi bumerang.
“Faktanya adalah bahwa perusahaan milik negara China adalah saluran untuk korupsi di Afrika,” katanya.
Penggunaan pinjaman China yang diakui untuk mengamankan aset strategis juga sama kontroversialnya—baik bagi warga Zambia maupun pemerintah Barat yang ingin memeriksa kekuatan China yang meningkat.
Untuk AS dan sekutu-sekutunya, ini terutama berlaku di lokasi maritim yang strategis untuk memperluas jejak angkatan laut China.
Dalam sebuah surat pada bulan Agustus kepada Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Steven Mnuchin, sebuah kelompok bipartisan Senator AS menyatakan kekhawatiran atas “pembiayaan infrastruktur predator” China, dan upayanya untuk “mengucurkan modal” di negara-negara lain menjadi kunci untuk dugaan strategi “String of Pearls” yang dijalankan China di Indo- Pasifik.
Surat itu menyoroti pengambilalihan pelabuhan Hambantota Sri Lanka dan kemungkinan akuisisi serupa di Djibouti dan Pakistan. Khususnya, tampaknya AS akan semakin meniru strategi investasi luar negeri China yang bergerak maju; International Development Finance Corporation—yang dibuat sebagai bagian dari BUILD Act yang disahkan oleh Kongres pada bulan Oktober—memberikan $60 miliar awal untuk investasi utang dan ekuitas di pasar negara berkembang.
Potensi klaim China terhadap aset di Zambia yang terkurung daratan, mungkin menyebabkan lebih sedikit kecemasan di Barat, tetapi di Zambia sendiri, mereka berada di pusat meningkatnya sentimen anti-Beijing.
Pada tahun lalu, ZESCO (perusahaan listrik negara) dan ZNBC (kantor penyiaran nasional), masing-masing telah menjadi alat dengan tujuan khusus untuk memberi perusahaan ekuitas China dengan dua pembangkit listrik tenaga air dan sebuah perusahaan yang ditugaskan untuk digitalisasi gelombang udara Zambia.
The African Confidential yang berbasis di London, melaporkan pada bulan September bahwa ZESCO sedang dalam pembicaraan dengan sebuah perusahaan China tentang pengambilalihan seluruh perusahaan—klaim yang menciptakan kehebohan di media-media lokal, dan berkontribusi terhadap suasana ketidakpercayaan yang membantu memicu kerusuhan di Kitwe dua bulan kemudian.
Pemerintah Zambia menyebut laporan itu sebagai miskarakterisasi yang kotor. Secara teknis, klaimnya bahwa mereka tidak menjanjikan aset publik sebagai jaminan atas pinjaman China sudah benar. Tetapi perusahaan-perusahaan milik negara China memang perlahan-lahan merugikan perusahaan milik negara Zambia, yang meningkatkan dukungan Beijing atas Lusaka.
Sejauh mana, kemudian, apakah Zambia secara aktif menyerahkan kedaulatannya sendiri? Jawabannya mungkin tergantung, sebagian, pada evolusi utangnya—seberapa dalam, di tahun-tahun mendatang, negara itu jatuh ke dalam kesusahan, dan apakah Zambia akhirnya diselamatkan oleh IMF, atau China, atau dibiarkan sendiri untuk menderita konsekuensi dari kecerobohan partai yang berkuasa.
Untuk saat ini, opsi pertama—dana talangan IMF—tidak tampak menjanjikan. Setelah lebih dari dua tahun negosiasi macet, IMF menarik perwakilannya dari Lusaka pada bulan Agustus, dilaporkan atas permintaan pemerintah Zambia, dengan alasan bahwa dia “menyebarkan pembicaraan negatif” di antara para donor.
Haabazoka, dari Asosiasi Ekonomi Zambia, percaya bahwa China pada akhirnya akan datang untuk menyelamatkan—mungkin dengan menawarkan untuk merestrukturisasi Eurobonds Zambia sebagai bagian dari upaya untuk membuktikan bahwa pinjamannya tidak menyengsarakan.
Bagaimanapun, dengan begitu banyak negara di selat yang sama, yang lain menyebut ini sebagai impian. Indermit Gill—seorang profesor kebijakan publik di Duke University dan seorang ahli di bidang keuangan pasar berkembang—memperingatkan bahwa China dapat menjadi semakin ketat bergerak maju, karena surplus rekening gironya sendiri yang menyusut dan pendinginan ekonomi domestik.
Meskipun masih bisa melangkah untuk membantu Zambia dan yang lain dalam menghindari krisis, katanya, namun hasil terbaik untuk semua orang—dalam jangka panjang—mungkin membiarkan ekonomi Afrika yang sarat utang menjadi sesuatu yang biasa.
“Masalah sebenarnya di sini adalah, bahwa negara-negara ini—mengingat utang mereka dihapus bersih oleh keringanan utang masa lalu—dapat kembali dan meminjam di pasar,” katanya.
“Jika mereka entah bagaimana bisa diselamatkan lagi, itu akan menciptakan bahaya moral besar lainnya. Dalam arti, saya pikir itu bisa baik bagi mereka untuk memiliki krisis utang masa lalu.”
Tetapi kerugian manusia di seluruh Afrika ini akan tinggi: meningkatnya pengangguran, sektor kesehatan yang terlalu terbebani, dan penghapusan banyak keuntungan yang dibuat selama dekade terakhir dan setengah dari pertumbuhan yang kuat di benua itu.
Di Zambia, krisis ekonomi yang semakin dalam juga akan menyebabkan lebih banyak kambing hitam dari China. Setelah kerusuhan Kitwe, suasana di Copperbelt tetap tegang.
Pada akhir November, menurut Financial Mail Afrika Selatan—sebuah majalah mingguan—proyek pembangunan jalan China di wilayah itu terhenti. Banyak warga China dilaporkan telah meninggalkan negara itu karena ketegangan yang mendidih.
Pemimpin Front Patriotik, sementara itu, menuduh tokoh oposisi memicu sentimen xenofobik. Lukuku—yang membandingkan China dengan Hitler dengan alasan bahwa “invasi pasar Afrika” sejalan dengan upaya Nazi menaklukkan Eropa—menyangkal ini, dan mengatakan bahwa dia tidak menentang China pada tingkat pribadi. Dia bahkan menghabiskan enam bulan di China untuk studi tur, katanya, dan diterima dengan baik di sana sebagai orang asing.
Namun, nada dan bahasanya membangkitkan perbandingan dengan retorika kaum pribumi dari pemimpin asing favoritnya, Donald Trump, yang ia kagumi karena berdiri menentang China dan berkontribusi pada “perdamaian dunia dan keadilan dunia.”
Dia bahkan mengungguli “birtherisme” yang tampaknya diinspirasikan oleh teori konspirasi—yang umum di antara penentang Lungu—bahwa Presiden Zambia adalah kelahiran negara tetangga Malawi, dan karenanya tidak memenuhi syarat untuk memegang jabatan tersebut.
Pemimpin oposisi utama Zambia, Hakainde Hichilema, yang ditahan tahun lalu atas tuduhan makar, juga muncul sebagai kritikus China yang blak-blakan.
Pihak berwenang menuduh bahwa ia sengaja memicu kerusuhan Kitwe dengan menyebarkan rumor penjualan ZAFFICO, dan menuduhnya mengorbankan stabilitas Zambia demi kelayakan politik.
“Ketika Anda mendiskreditkan China, Anda mendiskreditkan pembangunan infrastruktur kami, yang merupakan formula kemenangan untuk setiap pemilihan di Afrika,” kata Chanda dari Front Patriotik. “Semua sentimen anti-China ini hanyalah skema menjelang pemilihan 2021.”
Meskipun Chanda mungkin ada benarnya—xenofobia, bagaimanapun juga, telah membuktikan strategi politik yang menang di tempat lain—namun argumen oposisi Zambia bukannya tanpa substansi. Skeptisisme China mereka yang tumbuh juga dimiliki oleh banyak warga biasa, meskipun hanya sedikit yang mau berbicara kepada media karena topiknya sangat sensitif.
Selama kunjungan baru-baru ini ke kampus Universitas Zambia yang dikelilingi pohon, yang terletak di pinggiran Lusaka, para siswa ingin mendiskusikan pembunuhan rekan mereka, Vespers Shimuzhila, yang meninggal di kamar asrama setelah protes Oktober atas tunjangan makan yang tidak dibayar. Mereka dengan marah mengingat bagaimana polisi menembakkan lebih dari 10 tabung gas air mata ke kamarnya, yang akhirnya terbakar.
Mereka juga bersikeras bahwa kematian Shimuzhila dan keuangan pemerintah yang memburuk saling berkaitan, dan bahwa ketegangan keuangan Zambia telah merusak pendidikan tinggi dan meredam harapan mereka untuk masa depan. Namun, ketika diskusi beralih ke China, kebanyakan memilih untuk diam.
“Topik tentang China di sini sangat sensitif,” kata seseorang. “Anda bisa saja berkomentar, dan kemudian hari berikutnya Anda menemukan Anda tidak lagi terdaftar sebagai siswa.”
Jonathan W. Rosen adalah seorang wartawan yang melaporkan dari Afrika. Karyanya telah diterbitkan oleh National Geographic, The Atlantic, The New York Times, dan banyak gerai media lainnya.
sbr:
https://www.matamatapolitik.com/in-depth-china-harus-dihentikan-zambia-jadi-korban-diplomasi-jebakan-utang/
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami